Jumat, 19 Juni 2009

Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas? Oleh: Mudrajad Kuncoro*)

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2007 tumbuh 6% dibanding periode sama 2006 (yoy). Dibanding triwulan sebelumnya (q-to-q), pertumbuhan ekonomi ini hanya meningkat 2%.Pertanyaan mendasar yang menarik untuk diajukan adalah apakah ada perubahan mendasar pola pertumbuhan ekonomi dilihat dari dimensi sektoral, pengeluaran, spasial, dan distribusi ‘kue nasional’ tersebut? Apakah pertumbuhan ekonomi sebesar itu berarti semakin berkualitas?
Dari dimensi sektoral, pertumbuhan ekonomi kali ini ditopang oleh beberapa sektor kunci. Rekor paling tinggi berturut-turut adalah sektor pertanian (16,8%), sektor jasa-jasa (2,1%), sektor keuangan-real estat-jasa perusahaan (1%), sektor perdagangan-hotel restoran (0,9%), dan sektor listrik-gas-air bersih (0,6%). Tingginya kenaikan sektor pertanian besar kemungkinan karena kuatnya pengaruh musim panen, sebagaimana tercermin dari kenaikan pada subsektor tanaman bahan makanan sebesar 56,1%. Data kuartalan selama tiga tahun terakhir menunjukkan besarnya fluktuasi pertumbuhan sektor pertanian yang berkisar antara negatif 21,7% hingga positif 19,6%. Namun, perlu dicatat, selama 2004-2006 sektor pertanian hanya menyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar 12-15%. Sejak 1993, sumbangan sektor pertanian tidak pernah melebihi sektor industri manufaktur. Pada saat krisis ekonomi 1998, sektor pertanian hanya berperan 17,4% terhadap PDB, sementara ekspansi pada hampir semua komoditas industri menyebabkan industri manufaktur menyumbang 23,9% terhadap PDB.
Sumbangan sektor industri jauh lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Selama 2004-2006, sektor industri menyumbang sekitar 27-28% terhadap PDB. Volatitas pertumbuhan sektor industri pun jauh lebih kecil dibanding sektor pertanian. Data kuartalan selama tiga tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan industri antara negatif 0,04% hingga positif 3,6%. Sejak krisis, pertumbuhan sektor industri memang relatif rendah hanya berkisar antara 3,5% hingga 7,7%. Padahal sebelum krisis, industri manufaktur mampu tumbuh dengan dua digit, yaitu rata-rata sekitar 11% selama 1974-1997.
Dari dimensi pengeluaran, seluruh komponen penggunaan pada triwulan I 2007 dibandingkan triwulan yang sama tahun 2006 (yoy) meningkat. Pengeluaran konsumsi rumah tangga naik sebesar 4,5%, pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 4,3%, pembentukan modal tetap bruto sebesar 7,5%, ekspor barang-jasa sebesar 8,9%, dan impor barang dan jasa sebesar 8,4%.
Kendati terlihat kenaikan, tidak banyak perubahan dilihat dari kontribusi masing-masing pengeluaran terhadap PDB. Konsumsi tetap mendominasi, diikuti ekspor, impor, dan pembentukan modal tetap bruto. Konsumsi pemerintah meningkat cukup tinggi akibat serangkaian stimulus fiskal, sementara konsumsi swasta masih tumbuh lambat akibat lemahnya daya beli masyarakat pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005. Dengan kata lain, pola pertumbuhan ekonomi Indonesia belum banyak berubah, masih berciri consumption driven growth, bukan investment led growth sebagaimana diajarkan oleh teori makro.
Dari dimensi spasial, pulau Jawa tetap merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia triwulan I 2007 (60,2%). PDB Pulau Jawa didominasi secara berurutan oleh sektor industri pengolahan, perdagangan-hotel-restoran dan sektor pertanian. Dominasi sebagian besar aktivitas industri manufaktur modern, terutama skala besar dan sedang, di Indonesia terus berlangsung di pulau Jawa dan Sumatra selama 1976-2006. Jawa dan Sumatra menyerap lebih dari 93% tenaga kerja di sektor industri Indonesia selama periode tersebut.
Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2006 menggarisbawahi bahwa wilayah Jakarta-Banten, Jabalnusra (Jawa Bali Nusa Tenggara), dan Sumatra umumnya tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan Kali-Sulampua (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua). Dengan kata lain, grativasi ekonomi Indonesia masih bias ke Kawasan Barat Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi diharapkan mendorong perbaikan pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan. Kenyataannya, dilihat dari dimensi distribusi, memang PDB per kapita Indonesia pada tahun 2006 memang meningkat menjadi US$1.663, namun ketimpangan distribusi pendapatan juga meningkat.
Ketimpangan yang meningkat diukur dengan beberapa cara. Pertama, rasio gini yang meningkat dari 0,29 pada 2002 menjadi 0,35 pada 2006. Angka rasio gini yang semakin meningkat berarti terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar. Kedua, kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin mengalami penurunan dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006.
Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40% penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan kue nasional yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Singkatnya, ada indikasi kuat adanya trickle up effect, efek muncrat ke atas, dalam proses pembangunan di Indonesia.
Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari berkualitas. Ini lah tantangan terbesar tim ekonomi dalam kabinet saat ini. Kendati Presiden SBY telah melakukan resuffle kabinet secara terbatas, jajaran tim ekonomi dalam kabinet tidak banyak mengalami perubahan mendasar. Artinya, para menteri terkait masih dianggap kompeten dan memiliki visi serta strategi yang jelas dalam menyelesaikan masalah ekonomi Indonesia.
Padahal, dengan data-data dan fakta di atas agaknya pembangunan ekonomi kita sudah terbukti ‘salah arah’, aspasial, bias ke kawasan barat Indonesia, dan hanya menguntungkan kelompok kaya di negeri ini. Dengan sisa waktu sekitar 2,5 tahun, mampukah Presiden SBY dan kabinetnya melakukan perubahan mendasar? Bersama kita bisa sejahtera atau menderita bersama? Semoga perubahan yang dijanjikan tidak hanya sekedar mitos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar