menyimak kata calon presiden saat ini, yaitu lebih cepat lebih baik. Dalam tanggapan saya terhadap kata ini terutama terhadap tanggap ekonomi dalam hal ini , sebenarnya kata yang cukup bagus untuk dilontarkan untuk Indonesia saat ini, tapi bukan berarti itu merupakan kata yang paling bagus karena masih ada kata lain yang mungkin lebih bagus. kata - kata tersebut mengingatkan saya akan perekonomian jepang setelah perang dunia ke dua dimana saat itu jepang mengalami keterpurukan, dimana sistem negara(politik) dan ekonominya berada dalam masa keterpurukan atau dalam presepsi depresi. dimana saat itu jepang dengan 'lebih cepat dan lebih baik' mengambil keputusan untuk merubah segalanya terutama pada sistem perekonomiannya saat itu yang langsung beralih pada perekonomian yang tertutup dan keputusan lebih cepat dan lebih baik yang dibuatnya berahasil dan bisa kita lihat jepang yang sekarang. tapi kondisi jepang 'lebih cepat dan lebih baik' saat itu merupakan suatu keputusan yang tepat karena saat itu dia mengetahui dengan pasti keadaan negaranya, kelemahan negaranya, kekurangan negaranya, perekonomian negaranya, dll. keputusan lebih cepat dan lebih baik saat itu dalam visi dan misi yang buat oleh jepang terfokus pada pendidikan masyarakatnya sehingga bisa berefek pada jangka panjangnya yang sekarang. kata kunci dari lebih cepat dan lebih baik yang dibuat oleh jepang adalah pendidikan. karena sektor ini yang dapat membuat negaranya menjadi lebih baik, dimana diasumsikan bahwa pendidikan merupakan modal atau sumber modal dari berbagai macam sektor dalam suatu negara yang dapat di nikmati dalam jangka panjang dan pendidikan juga merupakan suatu pertahanan dan keamanan suatu negara.
Berdasarkan paparan diatas merupakan suatau pertanyaan besar bagi kita bangsa Indonesia, kenapa? karena yang pasti kata lebih cepat dan lebih baik saat ini yang di lontarkan oleh calon presiden kita,masih belum diketahui arahnya dan keterfokusannya yang mungkin secara garis besar mengarah pada kemajuan bangsa Indonesia. tapi setidaknya ada keterfokusan langkah utamanya untuk mewujudkan kata itu menjadi nyata dalam jangka pendek dan panjang. hal ini sengaja saya lontarkan mengingat kondisi negara kita yang masih belum stabil keadaannya dalam berbagai aspek dan juga mengingat kondisi sdm kita yang masih belum cukup untuk mewujudkan kata tersebut.
by. patris paulus lon putera
blog ini berisikan tulisan - tulisan berbagai macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat...
Selasa, 23 Juni 2009
otonomi daerah dalam sisi negatif
melihat perkembangan otonomi daerah saat ini kayanya banyak daerah di Indonesia yang belom siap dengan kebijakan ini. otonomi daerah yang sudah berjalan selama masih di estimasikan pada posisi yang belom maksimal. hal ini dapat dilihat dari beberapa daerah yang pendapatannya maswih dibawah target bahkan membebankan pemerintah pusat. ada beberapa masalah yang diperkirakan otonomi daerah yang tidak berada pada target yang diharapkan:
1. input yang dalam hal ini merupakan SDM dari masyarakat daerah yang masih dibawah rata - rata. kondisi ini seharus di pertimbangkan oleh tiap daerah yang menjalankan kebijakan otonomi daerah. hal tersebut kenapa saya lontarkan? karena sebagai pertimbangan dimana otonomi daerah yang ditarget harus dapat dimengerti oleh masyarakat daerah itu sehingga keputusan yang dibuat dapat dicermati dan didukung oleh masyarakat sekitar.
2. output dalam hal ini merupakan target lost atau tidak sesuai target. tiap daerah dalam mengikuti kebijakan otonomi daerah, biasanya di haruskan untuk membuat suatu keputusan untuk menargetkan sesuatu sehingga sesuatu itu bisa berdampak positif terhadap daerah itu sendiri. tetapi kenyataan yang terjadi target tersebut bisa menjadi lost sehingga berdampak negatif terhadap daerah tersebut. hal ini disebabkan karena tidak adanya observasi jangka panjang dalam membuat keputusan dan cenderung buru dengan pertimbangan 'asal anggaran tahun ini surplus' tampa meninjau efek jangka panjangnya.
Berdasarkan asumsi sederhana diatas dapat merubah tujuan dari kebijakan otonomi yang sebenarnya. dan ini merupakan pekerjaan rumah bagi para generasi bangsa yang sedang berada pada bangku pendidikan agar lebih bisa mengamati hal tersebut. karena berdasarkan perkembangan ekonomi Indonesia saat ini dapat di nilai bahwa kebijakan otonomi daerah belum berjalan secara optimal walaupun adanya campur tangan pemerintah pusat terhadap daerah dalam rupa bantuan yakni DAU,DAK dan beberapa bantuan tak terduga lainnya. hal ini sebenarnya belum bisa menyelesaikhan masalah sederhana untuk mecapai otonomi daerah yang positif.
by. Patris Paulus Lon Putera
1. input yang dalam hal ini merupakan SDM dari masyarakat daerah yang masih dibawah rata - rata. kondisi ini seharus di pertimbangkan oleh tiap daerah yang menjalankan kebijakan otonomi daerah. hal tersebut kenapa saya lontarkan? karena sebagai pertimbangan dimana otonomi daerah yang ditarget harus dapat dimengerti oleh masyarakat daerah itu sehingga keputusan yang dibuat dapat dicermati dan didukung oleh masyarakat sekitar.
2. output dalam hal ini merupakan target lost atau tidak sesuai target. tiap daerah dalam mengikuti kebijakan otonomi daerah, biasanya di haruskan untuk membuat suatu keputusan untuk menargetkan sesuatu sehingga sesuatu itu bisa berdampak positif terhadap daerah itu sendiri. tetapi kenyataan yang terjadi target tersebut bisa menjadi lost sehingga berdampak negatif terhadap daerah tersebut. hal ini disebabkan karena tidak adanya observasi jangka panjang dalam membuat keputusan dan cenderung buru dengan pertimbangan 'asal anggaran tahun ini surplus' tampa meninjau efek jangka panjangnya.
Berdasarkan asumsi sederhana diatas dapat merubah tujuan dari kebijakan otonomi yang sebenarnya. dan ini merupakan pekerjaan rumah bagi para generasi bangsa yang sedang berada pada bangku pendidikan agar lebih bisa mengamati hal tersebut. karena berdasarkan perkembangan ekonomi Indonesia saat ini dapat di nilai bahwa kebijakan otonomi daerah belum berjalan secara optimal walaupun adanya campur tangan pemerintah pusat terhadap daerah dalam rupa bantuan yakni DAU,DAK dan beberapa bantuan tak terduga lainnya. hal ini sebenarnya belum bisa menyelesaikhan masalah sederhana untuk mecapai otonomi daerah yang positif.
by. Patris Paulus Lon Putera
Jumat, 19 Juni 2009
GEJOLAK KURS DAN KONDISI FUNDAMENTAL EKONOMI
Sudah banyak sekali analisis tentang gejolak kurs di Asia Tenggara. Walaupun tidak semua, namun saya mendapat kesan bahwa sebagian besar analisis tersebut tidak memperjelas proses yang terjadi, bersifat spekulatif, dan bahkan ada yang mengkaitkannya dengan perlunya pembenahan sektor riel.Namun, bagi saya yang paling meleset adalah analisis yang menyimpulkan bahwa "peristiwa gejolak kurs baru baru ini membuktikan bahwa kondisi fundamentalekonomi tidak lagi menjadi faktor penting." Ini nonsense!
Lalu ada juga yang mengkaitkan gejolak kurs dengan kecanggihan teknologi dipasar uang dan modal, dimana pembelian suatu mata uang dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan situasi beberapa tahun lalu. Sebenarnya, dari dulu sampai sekarang tidak ada perbedaan. Teknologi mempercepat pembelian matauang antar-negara tidak banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. Dulu sudah mudah, sekarang juga mudah. Jadi, bukan itu persoalannya.
Keterbelakangan dan bottleneck di sektor riel memang penting, dan selalu penting dalam 10 atau 20 tahun terakhir. Tetapi, mengarahkan target penyebab serangan terhadap rupiah pada sektor riel kurang tepat. Kalau memang keterbelakangan sektor riel yang menjadi penyebab, mengapa peristiwa serangan terhadap rupiah tidak terjadi tahun lalu atau dua tahun lalu? Mengapa justeru otoritas moneter kita waktu itu dibuat pusing mengatasi keadaan yang sebaliknya, yaitu derasnya arus modal masuk yang mengakibatkan rupiah menguat (apresiasi)? Bukankah bottleneck di sektor riel tahun lalu atau dua tahun lalu tidak lebih kecil dari sekarang?
Semua tahu bahwa penurunan nilai rupiah berkaitan dengan penurunan pasok dolar, antara lain karena permintaan terhadap dolar melonjak. Namun, yang menjadi pertanyaan dan masih belum jelas jawabannya, siapa yang membeli dolar itu, dan apa motif dasarnya? Dari peristiwa yang saya baca dan dengar sampai hari ini, nampaknya ada dua tahap peristiwa, sebut saja tahap 1 dan tahap 2.
Pada tahap 1, yaitu bermula sejak Juli bersejarah sampai sekitar awal Agustus lalu, ada beberapa kemungkinan. Spekulator, baik asing maupun domestik, bisa menjadi pelaku utama, tapi motif mencari untung tetap dominan. Tuduhan PM Malaysia Mahatir terhadap satu orang spekulator asing, G. Soros, sebagai salah satu pelaku (pembeli) memang benar, karena Soros sendiri sudah mengakuinya. Tapi, menuduh bahwa dia mempunyai motif politik saya pikir terlalu berlebihan.
Kemungkinan pelaku lain adalah dunia usaha sendiri (termasuk bank) yang juga tergiur untuk memanfaatkan kesempatan memperoleh keuntungan. Sebenarnya ada dua jenis dalam kelompok ini. Pertama, mereka yang sekedar ingin memanfaatkan untuk keuntungan, jadi sami mawon dengan spekulator.
Jenis kedua berkaitan dengan tahap 2, yaitu mereka yang benar benar membutuhkan dolar, karena kalau tidak membeli sekarang posisi hutang (dalam dolar) mereka makin sulit terbayar mengingat nilai rupiah yang diperlukan akan makin besar.
Saya pribadi beranggapan bahwa sejak awal Agustus sampai sekarang (tahap 2), kelompok terakhir ini yang membeli dolar paling banyak. Mengapa? Harus diakui bahwa meskipun tingkat bunga sudah turun dibandingkan awal tahun 1990an (masa tight money policy, TMP), tingkat bunga dalam negeri masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bunga di luar negeri. Disamping itu, dalam dua tahun terakhir kecenderungan tingkat bunga luar negeri turun, mengingat ekonomi AS cukup baik (tidak ada kekuatiran inflasi) dengan tingkat bunga yang rendah seperti sekarang. Jadi, masuk akal kalau banyak pengusaha kita yang mencari pinjaman di luar negeri. Ini lebih dimungkinkan lagi karena kredibilitas Indonesia cukup baik, antara lain karena kondisi ekonomi makro yang stabil.
Hutang swasta semacam ini tidak ada masalah asal jadwal dan kemampuan membayarnya juga terjamin. Nah, disinilah letak persoalannya. Karena kecenderungan rupiah makin melemah, terutama karena semua pihak termasuk laporan Bank Dunia pre-CGI memperkirakan bahwa defisit transaksi berjalan (DTB) akan makin besar, maka banyak pihak swasta mulai pasang kuda kuda sebelum pembayaran hutang luar negeri mereka jatuh tempo. Caranya? Beli saja dolar sekarang karena makin besar DTB, seperti yang diperkirakan dan didengungkan semua pihak, makin merosot nilai rupiah, yang berarti makin banyak rupiah yang harus disediakan untuk membayar hutang mereka (dalam dolar). Dengan perkataan lain, swasta ingin memperkecil risiko. Ini samasekali tidak dapat digolongkan sebagai tindakan spekulasi.
Tinggal satu pertanyaan tersisa: sebelum mereka memborong dolar untuk mengurangi risiko (tahap 2), apa yang menyebabkan nilai rupiah merosot di tahap 1? Disini, faktor standar tetap berlaku, dan faktor fundamental ekonomi masih mempunyai peran utama. Setiap ada kecenderungan DTB membesar, tekanan terhadap rupiah selalu muncul. Ini konsep dasar dalam ilmu ekonomi, dan secara empiris terbukti. Contoh yang paling sering dijadikan acuan adalah kasus ketidak-seimbangan perdagangan antara Jepang dan AS. Kalau defisit AS cenderung naik, tekanan untuk memperlemah dolar (vis-a-visYen) selalu muncul.
Seperti yang disinggung sebelumnya, kita semua tahu bahwa DTB kita memang membesar dan semua memperkirakan DTB akan lebih besar lagi di tahun tahun mendatang. Jadi, wajar dan sangat sesuai dengan prediksi teori ekonomi bahwa dalam situasi semacam itu nilai rupiah akan turun.
Namun, nilai penurunan rupiah sejak Juli bersejarah tersebut ternyata lebih besar dari dugaan. Jadi, pasti ada faktor lain yang makin memperkuat (reinforce) proses melemahnya nilai rupiah. Disinilah muncul faktor contagion effect, yaitu penularan gejala dari negara tetangga, terutama Thailand. Perlu disadari bahwa dampak "penyatuan" ekonomi ASEAN (melalui AFTA) dan Asia Pasifik (melalui APEC) tidak hanya melulu bersifat positif seperti yang sudah berkali kali didengungkan dan dianalisis. Analisis semacam itu memang tepat. Namun, proses dampak negatif juga bisa berlangsung, dan ini sangat jarang disebut. Kalau satu anggauta keluarga maju, yang lain ikut menikmati. Namun, satu anggauta keluarga sakit, yang lain juga ikut tertular. Itulah sebabnya semua negara ingin turut membantu keluarga yang sakit (Thailand) agar cepat sembuh dan tidak menularkan penyakitnya. Indonesia sendiri ikut menyumbang setengah milyar dolar.
Pada akhirnya, tetap dua faktor utama yang dapat berpengaruh pada nilai suatu mata uang: kondisi fundamental ekonomi dan sentimen pasar yang disebabkan oleh faktor lain termasuk keadaan politik. Dari sudut kebijakan ekonomi, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengkontrol faktor kedua. Di lain pihak, kalau faktor pertama mulai ikut goyang, maka tekanan terhadap mata uang lokal akan makin diperkuat (reinforced). Bagi Indonesia sekarang, otoritas keuangan diharapkan terus berusaha mempertahankan kondisi fundamental ekonomi (pertumbuhan tinggi, inflasi terkontrol, DTB turun). Salah besar kalau kita beranggapan bahwa kondisi fundamental ekonomi sudah tidak lagi berperan.
Saya berpendapat bahwa pemerintah harus hati hati bermain dengan kebijakan moneter dalam saat saat seperti ini. Kalau tingkat bunga dimainkan (dinaikkan) terlalu banyak dan terlalu lama, dengan harapan dapat mempertahankan nilai rupiah, maka dampak negatif akan muncul: investasi turun dan pertumbuhan ekonomi rendah. Sindrom Thailand akan menjadi kenyataan. Artinya, kondisi fundamental ekonomi mulai goyang.
Jadi, saya sejalan dengan pendapat beberapa pengusaha yang khawatir dengan tingkat bunga yang terus dimainkan (dinaikkan). Mungkin motif kekuatiran saya yang berbeda dengan mereka; karena saya bukan pengusaha.
Lalu ada juga yang mengkaitkan gejolak kurs dengan kecanggihan teknologi dipasar uang dan modal, dimana pembelian suatu mata uang dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan situasi beberapa tahun lalu. Sebenarnya, dari dulu sampai sekarang tidak ada perbedaan. Teknologi mempercepat pembelian matauang antar-negara tidak banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. Dulu sudah mudah, sekarang juga mudah. Jadi, bukan itu persoalannya.
Keterbelakangan dan bottleneck di sektor riel memang penting, dan selalu penting dalam 10 atau 20 tahun terakhir. Tetapi, mengarahkan target penyebab serangan terhadap rupiah pada sektor riel kurang tepat. Kalau memang keterbelakangan sektor riel yang menjadi penyebab, mengapa peristiwa serangan terhadap rupiah tidak terjadi tahun lalu atau dua tahun lalu? Mengapa justeru otoritas moneter kita waktu itu dibuat pusing mengatasi keadaan yang sebaliknya, yaitu derasnya arus modal masuk yang mengakibatkan rupiah menguat (apresiasi)? Bukankah bottleneck di sektor riel tahun lalu atau dua tahun lalu tidak lebih kecil dari sekarang?
Semua tahu bahwa penurunan nilai rupiah berkaitan dengan penurunan pasok dolar, antara lain karena permintaan terhadap dolar melonjak. Namun, yang menjadi pertanyaan dan masih belum jelas jawabannya, siapa yang membeli dolar itu, dan apa motif dasarnya? Dari peristiwa yang saya baca dan dengar sampai hari ini, nampaknya ada dua tahap peristiwa, sebut saja tahap 1 dan tahap 2.
Pada tahap 1, yaitu bermula sejak Juli bersejarah sampai sekitar awal Agustus lalu, ada beberapa kemungkinan. Spekulator, baik asing maupun domestik, bisa menjadi pelaku utama, tapi motif mencari untung tetap dominan. Tuduhan PM Malaysia Mahatir terhadap satu orang spekulator asing, G. Soros, sebagai salah satu pelaku (pembeli) memang benar, karena Soros sendiri sudah mengakuinya. Tapi, menuduh bahwa dia mempunyai motif politik saya pikir terlalu berlebihan.
Kemungkinan pelaku lain adalah dunia usaha sendiri (termasuk bank) yang juga tergiur untuk memanfaatkan kesempatan memperoleh keuntungan. Sebenarnya ada dua jenis dalam kelompok ini. Pertama, mereka yang sekedar ingin memanfaatkan untuk keuntungan, jadi sami mawon dengan spekulator.
Jenis kedua berkaitan dengan tahap 2, yaitu mereka yang benar benar membutuhkan dolar, karena kalau tidak membeli sekarang posisi hutang (dalam dolar) mereka makin sulit terbayar mengingat nilai rupiah yang diperlukan akan makin besar.
Saya pribadi beranggapan bahwa sejak awal Agustus sampai sekarang (tahap 2), kelompok terakhir ini yang membeli dolar paling banyak. Mengapa? Harus diakui bahwa meskipun tingkat bunga sudah turun dibandingkan awal tahun 1990an (masa tight money policy, TMP), tingkat bunga dalam negeri masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bunga di luar negeri. Disamping itu, dalam dua tahun terakhir kecenderungan tingkat bunga luar negeri turun, mengingat ekonomi AS cukup baik (tidak ada kekuatiran inflasi) dengan tingkat bunga yang rendah seperti sekarang. Jadi, masuk akal kalau banyak pengusaha kita yang mencari pinjaman di luar negeri. Ini lebih dimungkinkan lagi karena kredibilitas Indonesia cukup baik, antara lain karena kondisi ekonomi makro yang stabil.
Hutang swasta semacam ini tidak ada masalah asal jadwal dan kemampuan membayarnya juga terjamin. Nah, disinilah letak persoalannya. Karena kecenderungan rupiah makin melemah, terutama karena semua pihak termasuk laporan Bank Dunia pre-CGI memperkirakan bahwa defisit transaksi berjalan (DTB) akan makin besar, maka banyak pihak swasta mulai pasang kuda kuda sebelum pembayaran hutang luar negeri mereka jatuh tempo. Caranya? Beli saja dolar sekarang karena makin besar DTB, seperti yang diperkirakan dan didengungkan semua pihak, makin merosot nilai rupiah, yang berarti makin banyak rupiah yang harus disediakan untuk membayar hutang mereka (dalam dolar). Dengan perkataan lain, swasta ingin memperkecil risiko. Ini samasekali tidak dapat digolongkan sebagai tindakan spekulasi.
Tinggal satu pertanyaan tersisa: sebelum mereka memborong dolar untuk mengurangi risiko (tahap 2), apa yang menyebabkan nilai rupiah merosot di tahap 1? Disini, faktor standar tetap berlaku, dan faktor fundamental ekonomi masih mempunyai peran utama. Setiap ada kecenderungan DTB membesar, tekanan terhadap rupiah selalu muncul. Ini konsep dasar dalam ilmu ekonomi, dan secara empiris terbukti. Contoh yang paling sering dijadikan acuan adalah kasus ketidak-seimbangan perdagangan antara Jepang dan AS. Kalau defisit AS cenderung naik, tekanan untuk memperlemah dolar (vis-a-visYen) selalu muncul.
Seperti yang disinggung sebelumnya, kita semua tahu bahwa DTB kita memang membesar dan semua memperkirakan DTB akan lebih besar lagi di tahun tahun mendatang. Jadi, wajar dan sangat sesuai dengan prediksi teori ekonomi bahwa dalam situasi semacam itu nilai rupiah akan turun.
Namun, nilai penurunan rupiah sejak Juli bersejarah tersebut ternyata lebih besar dari dugaan. Jadi, pasti ada faktor lain yang makin memperkuat (reinforce) proses melemahnya nilai rupiah. Disinilah muncul faktor contagion effect, yaitu penularan gejala dari negara tetangga, terutama Thailand. Perlu disadari bahwa dampak "penyatuan" ekonomi ASEAN (melalui AFTA) dan Asia Pasifik (melalui APEC) tidak hanya melulu bersifat positif seperti yang sudah berkali kali didengungkan dan dianalisis. Analisis semacam itu memang tepat. Namun, proses dampak negatif juga bisa berlangsung, dan ini sangat jarang disebut. Kalau satu anggauta keluarga maju, yang lain ikut menikmati. Namun, satu anggauta keluarga sakit, yang lain juga ikut tertular. Itulah sebabnya semua negara ingin turut membantu keluarga yang sakit (Thailand) agar cepat sembuh dan tidak menularkan penyakitnya. Indonesia sendiri ikut menyumbang setengah milyar dolar.
Pada akhirnya, tetap dua faktor utama yang dapat berpengaruh pada nilai suatu mata uang: kondisi fundamental ekonomi dan sentimen pasar yang disebabkan oleh faktor lain termasuk keadaan politik. Dari sudut kebijakan ekonomi, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengkontrol faktor kedua. Di lain pihak, kalau faktor pertama mulai ikut goyang, maka tekanan terhadap mata uang lokal akan makin diperkuat (reinforced). Bagi Indonesia sekarang, otoritas keuangan diharapkan terus berusaha mempertahankan kondisi fundamental ekonomi (pertumbuhan tinggi, inflasi terkontrol, DTB turun). Salah besar kalau kita beranggapan bahwa kondisi fundamental ekonomi sudah tidak lagi berperan.
Saya berpendapat bahwa pemerintah harus hati hati bermain dengan kebijakan moneter dalam saat saat seperti ini. Kalau tingkat bunga dimainkan (dinaikkan) terlalu banyak dan terlalu lama, dengan harapan dapat mempertahankan nilai rupiah, maka dampak negatif akan muncul: investasi turun dan pertumbuhan ekonomi rendah. Sindrom Thailand akan menjadi kenyataan. Artinya, kondisi fundamental ekonomi mulai goyang.
Jadi, saya sejalan dengan pendapat beberapa pengusaha yang khawatir dengan tingkat bunga yang terus dimainkan (dinaikkan). Mungkin motif kekuatiran saya yang berbeda dengan mereka; karena saya bukan pengusaha.
ANALISIS KAUSALITAS TINGKAT SUKU BUNGA SBI DENGAN KURS DI INDONESIA TAHUN 1998.1 – 2003.12
Penelitian ini berjudul “Hubungan Kausalitas Tingkat Sku Bunga SBI Dengan Kurs Di Indonesia Tahun 1998.1 – 2003.1.2” dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola kausalitas antara Tingkat Suku Bunga SBI Dengan Di Insonesia Tahun 1998.1 – 2003.1.2. Metode analisa yang digunakan adalah metode Error Correction Model. Untuk mengetahui kesalahan hasil estimasi maka dilakukan pengujian penyimpangan asumsi klasik. Uji kausalitas Error Correction Model menunjukkan bahwa selama periode penelitian terdapat hubungan antara tingkat suku bunga SBI dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Hal itu ditunjukkan variabel DLNSBI, LNSBIT 1 dan ECT01 yang berpengaruh signifikan, karena nilai signifikansi masing-masing secara berurutan 0,0000, 0, 0021 dan 0,0034 lebih kecil dari < = 0,05. sedangkan hubungan perubahan kurs terhadap tingkat suku bunga SBI dalam jangka pendek juga terjadi. Hal ini ditunjukkan oleh variabel DLNKURS, dan ECT 02 berpengaruh signifikan terhadap DLNSBI, kare na nilai signifikansi masing-masing variabek tersebut secara berurutan 0,0000 dan 0,0949 lebih kecil dari = 0,1. untuk uji kepenuhan asumsi klasik ternyata terdapat beberapa penyimpangan masalah. Pada model 1 terdapat adanya masalah autokorelasi, masalah heteroskedastisitas, model tidak linier dan model normal. Pada model 2 terdapat adanya masalah autokorelasi, maslah heteroskedastisitas, model tidak linier dan model tidak normal.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalaml krisis ekonomi yang terus berkelanjutan. Pada diakhir 1997, suku bunga untuk jangka waktu bulanan di Bank umum tercatat 23%, nilai ini naik sekitar 36% dibandingkan tahun sebelumnya, kelangkaan dana yang dimiliki dunia perbankan memicu terjadinya "Perang" suku bunga antar bank, untuk mengatasi hal itu perbanas, organisasi bank-bank nasional, mengajukan tiga usul kepada Bank Indonesia. Pertama: Suku bunga di biarkan bebas berdasakan mekanisme pasar, Kedua: mengacu pada jibor, Ketiga berdasarkan patokan suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI), usulan terakhir yang akhirnya disetujui Bank Indonesia. Pada tahun 1998 suku bunga SBI mencapai puncaknya 70,7% namun masa keemasan buat para deposan berakhir berangsur-angsur, sejalan dengan penurunan SBI oleh Bank Indonesia (Jullanery, 2002). Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hasil lelang pada awal Januari tahun 2004 sudah berada pada tingkat 7,48% untuk SBI yang berjangka satu bulan diperkirakan baliwa angka 7% untuk rata-rata tertimbang tingkat diskonto (suku bunga) pun bisa pecah tahun ini. Pada akhir bulan Januari 2004, lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) memunculkan suatu kejutan baru. Suku bunga SBI mengalami penurunan yang cukup tajam, sebesar 20 basis poln, yaitu dari 8,06% menjadi 7,86%. Penurunan yang tajam tersebut memang merupakan hasil interaksi antara, likuiditas pasar yang berlebih dengan arah penetapan terlihat nyata. dari persentase permintaan lelang yang diambil, yaitu hanya 77%. Ini berarti, jika persentase yang diambil Bank Indonesia lebih besar, penurunan bunganya pun juga akan lebih besar. Karena, itu pencapaian suku bunga SBI sebesar 7,86% tersebut tampaknya sudah merupakan hasil yang cukup optimal. Namun dalam jangka yang lebih panjang suku. bunga SBI tetap akan banyak dipengaruhi oleh persepsi pemilik dana, baik yang berasal dalam negeri maupun luar negeri. Bagi pemilik dana, dalam negeri tingkat suku bunga tersebut akan mereka bandingkan dengan tingkat inflasi. Jika suku bunga nominal bersih lebih rendah dan tingkat inflasi, mereka akan menenima suku bunga riil yang negatif Sementara itu, bagi pemilik dana dari luar negeri, penerimaan tersebut akan mereka ukur dalani mata uang asal dan inflasi dinegara mereka. Dari kedua sumber dana tersebut, yang tampak mendekati titik kritis adalah sumber dana dari dalam negeri (Harinowo, 2004).
Masa kritis 100 hari kabinet Indonesia bersatu telah berlalu, tak ada prestasi signifikan yang bisa dibanggakan. Namun, harapan terbentuknya Indonesia baru yang bersatu dan maju, tetap bertumpu di pundak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rupiah membenikan sambutan positif saat presiden pertama di Indonesia yang dipilih secara langsung itu dilantik. Kurs rupiah menguat sehingga di bawah Rp. 9.000,-/US$, tapi apreslasi itu bersifat sementara. Im kurs rupiah susah sepertinya berangsur dari kisaran Rp. 9.300,/US$ dalam situasi seperti itu sudah seharusnya mulai pasang kuda-kuda bila trend itu terus berlanjut, atau malah menjurus pada depresiasi, apabila Bank Central Amerika Federal Reserve (The Fed) yang pada Februari lalu yang telah menaikkan suku bunganya menjadi 2,5%, memberl isyarat akan menaikkan bunganya lagi hingga 3,5 -4%. Kenaikkan ini akan berdampak pada suku bunga di banyak negara termasuk Indonesia. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) akan melonjak untuk menahan kelemahan kurs rupiah lebih lanjut. Kebijakan BI bertujuan untuk mengerem peredaran rupiah, sehingga tidak dipermainkan speiculan. Kalau kita certnati lagi masih ada satu alternatif kebijakan lagi untuk menguatkan kurs rupiah. Yaitu meningkatkan suku bunga SBI sehingga rupiah kemball diburu dan kernudian mengalami apresiasi, namun kebijakan itu kurang popular karena bisa melumpuhkan sektor riil. Kebijakan ini baru akan efektif bila. ada koordinasi dengan kebijakan fiskal (Media Indonesia, 2005). Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis dan melakukan penelitian tentang "ANALISIS KAUSALITAS TINGKAT SUKU BUNGA SBI DENGAN KURS DI INDONESIA TAHUN 2000 - 2005)
B.perumusan Masalah
Bagaimana pola kausalitas antara suku bunga SBI dengan kurs maka diangkat permasalahan apakah suku bunga SBI mempengaruhi kurs atau kurs mempengaruhi suku bunga SBI ataukah suku bunga SBI dan kurs saling mempengaruhi.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pola kausalitas antara tingkat suku bunga SBI dengan kurs selama periode 1998.1 sampai 2003.12.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan bagi penulis tentang kausalitas antara tingkat suku bunga SBI dengan kurs.
2. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan dan perbandingan untuk penelitian sejenis.
3. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi data-data bagi penelitian selanjutnya.
E. Metode Penelitian
1. Alat analisis
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kausalitas Error Correction Model (ECM). Kausalitas Error Correction Model (ECM) digunakan untuk menguji arah hubungan timbal-balik antara dua variabel secara empirik. Dalam hal ini variabel-van'abel yang digunakan adalah tingkat suku bunga SBI dengan kurs. Kausalitas Error Correction Model (ECM) menggunakan data urut waktu (time series), antara lain tingkat suku bunga SBI
dan kurs mulai tahun 1998.1 sampai 2003.12 yang diterbitkan oleh biro Pusat Statistik dan Bank Indonesia.
Uji kausalitas Error Correction Model pada penelitian ini diformulasikan dengan persarnaan regresi sebagai berikut:
DVA = o SBIt-1 + 1 DSBIt-1 + 2 ECT1
DSBI = o VAt-1 + 1 DVAt-1 + 2 ECT2
Dimana :
D (X) = Xt – Xt-1
SBI = Suku Bunga SBI
VA = Valas
, = Koefisien masing-masing variabel
(1) ECT1 = SBIt-1 – VAt-1 (Nilai kesalahan perubahan lag variabel model 1)
(2) ECT2 = VAt-1 – SBIt-1 (Nilai kesalahan perubahan lag variabel model 2)
Diasumsikan bahwa gangguan Vt1 dan Vt2 tidak berkorelasi
2. Sumber dan Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah sekunder, yang meliputi suku. Bunga SBI dan kurs, dalani kurun waktu (time series) dari tahun 1998.1-2003.12. Adapun sumber data diperoleh dari Kantor Biro Pusat Statistik, Bank Indonesia serta buku-buku. atau literature lain yang relevan dengan penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab ini membahas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan skripsi
Bab II Landasan Teori
Bab ini membahas teori bunga, teori permintaan valuta asing, kebijakan open market (kebijakan moneter BI), hubungan kurs dengan tingkat suku bunga, penelitian terdahulu, hipotesa.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini membahas obyek penelitian, jenis dan sumber data, definisi operasional variabel dan metode analisis data.
Bab IV Analisis Data
Bab ini membahas perkembangan tingkat suku bunga SBI dan kurs hasil Uji stasioneritas, UJI kointegrasi, Uji derajat integrasi, Uji kausalitas Error Correction Model, dan UJI asumsi klasik
Bab V Penutup
Bab ini membahas kesimpulan dan saran
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PERMINTAAN VALUTA ASING
Permintaan dalam ilmu ekonomi adalah kombinasi harga dan jumlah suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu. Permintaan suatu barang sangat dipengaruhi oleh pendapatan dan harga barang tersebut, sebab apabila harga barang naik sedangkan pendapatan tidak berubah maka permintaan akan barang tersebut turun atau berkurang, demikian pula sebaliknya harga barang turun, sedangkan jika pendapatan tidak berubah maka permintaan barang akan mengalami kenaikan atau bertambah (Soekirno, 1985). Valuta asing disebut juga foreign exchange (forex) atau foreign currency adalah mata uang asing atau alat pembayaran lainnya yang digunakan dalam transaksi ekonomi internasional berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan oleh bank sentral (Khalwaty, 2000). Menurut Salvatore (1997) valuta asing merupakan arti penting uang secara eksplisit yang dimasukan ke dalam perhitungan, sehingga harga-harga komoditi dinyatakan dalam satuan mata uang domestik dan mata uang luar negeri. Mata uang dalam valuta asing dibedakan menjadi dua kelompok mata uang, yaitu:
1. Hard currency adalah mata uang yang mempunyai nilai relatif stabil, tidak sering mengalami apresiasi (kenaikkan nilai) atau depresiasi (penurunan nilai) jika dibandingkan dengan mata uang negara lain. Hard currency merupakan mata uang yang dipilih dan digunakan sebagai alat pembayaran dan satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional. Yang termasuk hard currency adalah mata uang dari negara-negara industri maju seperti Dollar Amerika Serikat (USD), Yen Jepang (JPY), Poundsterling Inggris (GPB).
2. Soft currency adalah mata uang lemah yang kurang laku atau jarang digunakan sebagai alat pembayaran atau satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional karena nilainya relatif kurang stabil serta sering terdeprisiasi jika dibandingkan dengan mata uang negara lain. Soft currency umumnya terdiri dari mata uang negara-negara yang sedang berkembang yang sifatnya sangat sensitif terhadap gejolak politik, perubahan kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah negara bersangkutan termasuk terhadap perubahan-perubahan sosial ekonomi internasional. Nilai tukar valuta asing (kurs) adalah harga uang asing dalam satuan mata uang domestik (Samoelson, 1995: 450). Perdagangan antara negara dimana masing-masing mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut nilai tukar valuta asing (Boediono, 1981).
Disamping berperan dalam perdagangan internasional, kurs juga berperan dalam perdagangan valuta asing pada suatu negara atau antar negara sebab valuta asing juga merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan. Bagi negara yang kurang kuat nilai mata uangnya maka valuta asing merupakan alternatif investasi bagi masyarakat di negara tersebut Permintaan dan penawaran valuta asing terjadi karena ada transaksi ekspor dan impor baik modal, barang maupun jasa. Semakin besar volume ekspor dan impor akan semakin besar pula jumlah valuta asing yang dibutuhkan serta akan semakin banyak pula jenis valuta asing yang dibutuhkan sesuai dengan banyaknya negara yang menjadi mitra transaksi.
Permintaan suatu negara terhadap valuta asing bersumber pada impor barang atau jasa dan terjadinya ekspor modal (capital export) dan transfer valuta asing untuk berbagai kepentingan lainnya dari dalam negeri ke luar negeri. Untuk pembayaran barang dan jasa yang impor, importir memerlukan valuta asing. Semakin banyak barang atau jasa yang diimpor akan semakin banyak pula suatu negara membutuhkan valuta asing. Akibatnya, kurs valuta asing akan meningkat jika dibandingkan dengan uang lokal. Sebaliknya, semakin banyak suatu negara melakukan ekspor modal dan transfer valuta asing untuk be rbagai kepentingan di luar negeri, ini akan meningkatkan kurs valuta asing jika dibandingkan dengan uang lokal atau domestik (Khalwaty, 2000).
Sumber-sumber permintaan valuta asing dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Para importir barang dan jasa
2. Para investor yang memerlukan valuta asing untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban luar negerinya yang timbul dari transaksi-transaksi pembelian surat-surat berharga dari penduduk negara lain atau transaksi pemberian pinjaman kepada penduduk negara lain.
3. Para debitur dalam negeri yang memerlukan valuta asing untuk melunasi kewajiban-kewajiban luar negerinya yang telah jatuh tempo atau untuk membayar bunga pinjaman luar negerinya.
4. Wisatawan-wisatawan dalam negeri yang akan melawat ke luar negeri.
5. Perusahaan-perusahaan asing yang harus membayar deviden yang dibagikan kepada para pemegang saham di luar negeri. 6. Rumah-rumah tangga keluarga yang membutuhkan valuta asing untuk membiayai studi anggota keluarganya yang belajar di luar negeri.
7. Pemerintah yang membutuhkan valuta asing untuk membiayai perwakilan-perwakilannya di luar negeri, untuk menyelesaikan hutang-hutang luar negerinya yang telah jatuh tempo.
8. Para spekulan yang misalnya saja meramalkan akan adanya tindakan kebijakan devaluasi, mempunyai tendensi untuk berlomba -lomba membeli valuta asing.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang merupakan sumber permintaan valuta asing adalah semua transaksi luar negeri otonom debit. Sedangkan semua transaksi luar negeri otonom kredit merupakan sumber penawaran valuta asing (Soediyono, 1991).
B. SUKU BUNGA DAN PERMINTAAN VALUTA ASING
Pemahaman tentang teori dan teknik pengujian tentang pengaruh inflasi dan suku bunga terhadap perubahan permintaan valuta asing sangat penting bagi para pelaku di bursa valas agar dapat menghasilkan proyeksi kurs yang akurat, tidak menyimpang jauh dari kenyataan. Teori dan studi empiris yang menjelaskan tentang bagaimana permintaan valas bereaksi terhadap perubahan tingkat inflasi dan suku bunga, terdapat tiga macam teori paritas (teori keseimbangan), yaitu Teori Paritas Suku Bunga (Interest Rate Pariety Theory = IRP Theory), Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Pariety Theory = PPP Theory), Teori Efek Fisher Internasional (International Fisher Efect Theory). Ketiga macam teori tersebut menunjukkan adanya hubungan yang berbeda tentang perubahan tingkat inflasi dan suku bunga terhadap reaksi perubahan permintaan valas. Dengan adanya hubungan yang berbeda tersebut, terlihat adanya pertentangan antara ketiga teori tersebut yang dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan. Masing-masing teori mempunyai keunggulan dan kelemahan yang apabila digunakan secara bersama-sama akan memperluas wawasan dalam mengkombinasikannya dari segi positif. Dengan melihat keunggulannya akan dapat menghasilkan suatu proyeksi yang paling cermat dengan tingkat resiko yang paling kecil (Khalwaty, 2000).
1. Interest Rate Pariety Theory
Dengan menggunakan teori paritas suku bunga dapat diketahui hubungan antara bursa valas dan pasar uang internasional Interest Rate Pariety Theory (IRPT) paling banyak digunakan dalam literatur keuangan internasional yang menyatakan bahwa perbedaan tingkat suku bunga pada pasar keuangan internasional mempunyai kecenderungan yang sama dengan forward rate premium atau forward rate discount. IRPT menekankan pada perbedaan antara kurs forward dan kurs spot yang tercermin dari perbedaan tingkat suku bunga antara dua negara. Kurs forward mata uang suatu negara yang mengandung premi ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga antar negara. Akibatnya arbitrase suku bunga yang ditutup akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan suku bunga domestik. Variabel yang digunakan pada IRPT adalah premi forward dan perbedaan suku bunga antar dua negara (Khalwaty, 2000). Untuk mengetahui hubungan antara foreign country premium (fr premium) dan forward rate discount dari suatu valas dan tingkat suku bunga di pasar uang dapat digunakan rumus :
An=Ah/SR(1+if)FR
Keterangan :
An = Amount, yaitu jumlah uang dalam negeri yang akan diterima pada akhir suatu periode investasi.
Ah = Amount, yaitu jumlah uang dalam negeri yang diinvestasikan dalam periode tertentu.
If = Interest Rate, yaitu tingkat suku bunga deposito di luar negeri.
Sr = Spot Rate.
FR = Forward Rate.
2. Purchasing Power Parity Theory
Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity Theory = PPPT) digunakan untuk menganalisa pengaruh inflasi antara dua negara terhadap kurs valas. PPPT disebut juga Teori Paritas Daya Beli, Teori Keseimbangan Daya Beli atau Teori Kesamaan Daya Beli yang di ciptakan oleh Gustav Cassel setelah Perang Dunia II. Variable-variabe yang digunakan dalam PPPT adalah perubahan kurs spot dalam persentase dan perbedaan laju inflasi antar dua -negara. Menurut PPPT, kurs spot suatu valas akan berubah sebagai reaksi terhadap inflasi antara dua negara yang mengakibatkan daya beli seseorang ketika dia belanja di negara sendiri akan sama dengan mereka belanja di luar negeri. Kurs valas cenderung mengalami perubahan kearah rasio daya beli antara dua mata uang dalam jangka panjang (Khalwaty, 2000).
3. International Fisher Effect Theory
IRPT memfokuskan pembahasannya pada penyebab terjadinya perbedaan antara kurs forward dengan kurs spot yang dapat mencerminkan perbedaan antara tingkat suku bunga antara dua negara dalam suatu periode tertentu. Sedangkan pada PPPT dan International Fisher Effect Theory (IFET) memfokuskan pembahasannya pada bagian kurs spot berubah sepanjang waktu. International Fisher Effect Theory memprediksikan bahwa kurs spot bergerak mengikuti perbedaan suku bunga antar negara. Dengan demikian terdapat hubungan antara International Fisher Effect Theory dengan PPPT, karena perbedaan tingkat suku bunga antar dua negara dipengaruhi oleh perbedaan tingkat inflasi antar negara (Khalwaty, 2000).
a. Effect Theory
Analisis IFET menggunakan variable -variabel dasar persentase perubahan kurs spot dan perubahan suku bunga antar dua negara. IFET berdasar pada teori Irving Fisher yang menyatakan bahwa tingkat bunga mominal (i) di setiap negara akan sama dengan Real Rate Return (r) di tambah dengan tingkat inflasi yang diharapkan (I). Secara formulatif, teori Irving Fisher adalah :
i = r + Inflasi
Teori Effek Fisher menjelaskan bahwa tingkat suku bunga pada dua negara yang berbeda akan terjadi akibat adanya perbedaan tingkat inflasi yang diharapkan. IFET didasarkan pada teori effek Fisher yang pada prinsipnya mirip dengan IRPT, karena menggunakan perbedaan tingkat suku bunga dalam menjelaskan sebab-sebab terjadinya perubahan kurs valas. Jadi perbedaan tingkat suku bunga yang terjadi antara beberapa negara baik menurut PPPT maupun International Fisher Effect Theory antara lain disebabkan oleh perbedaan tingkat inflasi (Khalwaty, 2000).
b. Kelemahan IFET
IFET sebenarnya memliki beberapa kalemahan yang harus dicermati saat kita memprediksikan fluktuasi kurs yang disebabkan pengaruh inflasi dan suku bunga antar-dua negara. Kelemahan IFET antara lain (Khalwaty, 2000) :
1) Hasil perhitungan kurs valas tidak selalu tepat dan validitasnya tidak selalu dapat dibuktikan karena inflasi mempengaruhi perubahan valas. Akibatnya perubahan kurs tidak selalu sama dengan perubahan tingkat inflasi.
2) Selain pengaruh inflasi yang dominan terhadap fluktuasi kurs valas, harus dicermati pula pengaruh dari kontrol otoritas moneter, posisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, produk domestik bruto, permintaan dan penawaran valas serta sentimen bursa valas yang tidak masuk dalam variabel perhitungan pada IFET.
3) Berdasarkan hasil uji empirik, perbedaan tingkat inflasi antara dua negara yang dijadikan variabel dalam memprediksi fluktuasi kurs valas pada IFET tidak selalu memberi hasil yang akurat. Penyebabnya tidak dimasukkannya variabel-valiabel lain yang turut berpengaruh seperti perbedaan tingkat suku bunga antar dua negara dan kebijakan ekonomi makro.
4. International Parity Condition
Menyadari kelemahan-kelemahan mendasar dari IRPT, PPPT dan IFET yang digunakan dalam memprediksi kurs valas sejak digunakan sistem kurs mengambang, para pakar terus berusaha mengatasi dari kelemahan teori tersebut.
Dengan menganalisis Parity Condition, investor yang menginginkan keuntungan jangka pendek harus melakukan investasi atau piutang dalam valas dengan tingkat bunga yang relatif tinggi dengan kecenderungan berapresiasi. Sebaliknya, jika ia meminjam atau berhutang valas hendaklah ia memilih tingkat bunga yang relatif rendah serta mempunyai kecemderungan akan terdepresiasi. Dengan Parity Condition Analisys akan diketahui sebab-sebab terjadinya kenaikan tingkat suku bunga. Dengan menaikkan tingkat suku bunga pemerintah dapat mengurangi JUB. Tingkat suku bunga kredit yang tinggi dapat digunakan untuk membayar biaya bunga. Tingkat inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah akan mendorong investasi dan selanjutnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional secara proposional (Khalwaty, 2000).
C. PERMINTAAN UANG KEYNESIAN
Keynes memiliki pandangan bahwa permintaan uang ditentukan oleh tiga tujuan yaitu (i) Untuk membiayai transaksi, (ii) untuk berjaga-jaga, dan (iii) untuk spekulasi. Dua tujuan yang utama ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan tujuan yang ketiga ditentukan oleh tingkat suku bunga, yang merupakan pendapatan yang diperoleh apabila uang yang tersedia untuk spekulasi dengan membungkan di bank atau membeli obligasi.
1. Permintaan Uang Untuk Transaksi
Baumol (1952) dan Tobin (1956) menjelaskan tendensi seseorang dalam menggunakan uang untuk tujuan transaksi dalam teorinya yang dikenal dengan An Inventory Theoretic Approach. Teori ini pada dasarnya menerangkan bahwa seseorang tidak akan mengunakan uang dalam bentuk tunai dan disimpan dirumah. Dia akan menyimpan uang di bank dan mengharapkan bunga dari simpanannya. Seringnya seseorang untuk pergi ke bank mengambil uangnya untuk membiayai transaksinya tergantung pada dua faktor yaitu : biaya untuk pergi ke bank dan bunga yang diperoleh dari menyimpan uang di bank.
2. Permintaan Uang Untuk Berjaga-jaga
Dalam jangka pendek dan jangka panjang seseorang perlu menyisihkan dana untuk berjaga -jaga. Dalam jangka panjang uang digunakan untuk membiayai hari tua dan biaya anak tidak akan disimpan dalam bentuk uang giral. Biasanya dana tersebut dalam bentuk investasi misalkan saham atau obligasi atau harta benda yang memiliki nilai lebih tinggi dimasa depan. Hal itu akan dilakukan untuk berjaga-jaga dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek fungsi uang untuk berjaga -jaga digunakan seseoarang dalam kondisi diluar biasanya. Misal seseorang yang naik berpergian dengan naik bis, dia akan membawa uang yang lebih tidak sekedar untuk perjalanan dan makan. Tetapi dia akan membawa uang yang lebih untuk berjaga-jaga jika ia kecopetan. Seperti halnya dalam mengunakan uang untuk transaksi, dana yang digunakan untuk berjaga-jaga ini akan selalu gigunakan secara efisien. Artinya orang akan rasional untuk mendapatan bunga dari uang yang tidak digunakan. Dengan demikian analisis An Inventory Theoretic Approach bisa diaplikasikan kepada cara pengunaan untuk kebutuhan berjaga-jaga.
3. Permintaan Uang Untuk Spekulasi
Seseorang akan selalu memikirkan memperoleh pendapatan dari kelebihan uang yang dimiliki. Hal tersebut memungkinkan seseorang untuk melakukan spekulasi. Dalam pandangan Keynes menjelaskan bahwa hubungan antara suku bunga dan permintaan uang akan bersifat negatif. Yaitu pada saat suku bunga tinggi permintaan uang semakin kecil dan pada saat suku bunga rendah permintaan uang semakin meningkat. Sifat yang demikian disebabkan oleh sifat permintaan uang untuk spekulasi yang sangat dipengaruhi oleh suku bunga. Keynes dalam analisisnya memisalkan perekonomian hanya terdiri dari dua bentuk asset keuangan yaitu uang tunai dan obligasi. Karena orang memiliki persepsi yang berbeda tentang suku bunga normal, maka individu akan menentukan suku bunga yang relatif. Dengan demikian setiap individu akan menggantikan uang yang dispekulasikan dengan obligasi. Atau sebaliknya. Namun secara umum dapat dikatakan semakin tinggi suku bunga semakin banyak investor yang membeli obligasi dengan mengunakan uang yang disisihkan untuk spekulasi. Seseorang akan membeli obligasi apabila suku bunga yang berlaku sama dengan suku bunga normal. Apabila suku bunga normal berbeda dengan suku bunga yang berlaku individu tersebut akan melihat jika lebih tinggi ia akan tetap memegang obligasi. Dengan anggapan pada saat suku bunga kembali normal harga obligasi akan naik. Dan sebaliknya jika lebih rendah ia akan segera menjual obligasinya karena ia akan mendapat keuntungan yang lebih cepat.
D. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VALUTA ASING
1. Supply Foreign Currency
Valas atau forex sebagai benda ekonomi mempunyai permintaan dan penawaran pada bursa valas atau forex market. Sumber-sumber penawaran atau supply valas tersebut terdiri atas: (a) Ekspor barang dan jasa yang menghasilkan valas atau forex.(b) Impor modal atau capital import dan transfer valas lainnya dari luar negeri ke dalam negeri. Sedangkan sumber-sumber permintaan atau demand valas tersebut terdiri
atas: (a) Ekspor modal atau capital export dan transfer valas lainnya dari dalam negeri ke luar negeri. (b) Impor barang dan jasa menggunakan valas atau forex Sesuai dengan teori mekanisme pasar, setiap perubahan permintaan dan penawaran valas yang terjadi di bursa valas tentu akan mengubah harga atau nilai valas atau forex rate -nya.
2. Posisi Balance of Payment (BOP)
Balance of Payment atau neraca pembayaran internasional adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang semua transaksi ekonomi internasioanal yang meliputi perdagangan, keuangan, dan moneter antara penduduk suatu negara dan peduduk luar negeri untuk suatu periode tertentu, biasanya satu tahun.
3. Tingkat Bunga
Pengaruh tingkat bunga dapat dijelaskan berikut ini. Dengan adanya reunifikasi Jerman, pemerintah Jerman memerlukan dana yang cukup besar untuk membangun wilayah eks Jerman Timur. Karena permintaan dana yang besar tersebut, pemerintah Jerman menaikan tingkat bunganya untuk menarik modal luar negeri ke Jerman, terutama dari USA. Banyaknya valas dalam bentuk USD akan masuk ke Jerman akan menyebabkan peningkatan permintaan DEM dan penawaran USD sehingga kurs valas atau forex rateDEM/USDberubah dari DEM2.00/USD menjadi DEM1.90/USD.
4. Ekspektasi dan Spekulasi
Pada dasarnya, ekspektasi dan spekulasi yang timbul di masyarakat akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valas yang akhirnya akan mempengaruhi kurs valas atau forex rate. Demikian pula halnya dengan isu dan rumor, misalnya sakitnya Presiden atau Menteri Keuangan dapat mempengaruhi sentimen dan ekspektasi masyarakat sehingga mempengaruhi permintaan dan penawaran valas yang akan berakibat pada fluktuasi kurs valas. Salah satu contoh
kongkret adalah naiknya kurs USD, hingga mencapai sekitar Rp6.000/USD, karena adanya isu/rumor sekitar kesehatan Presiden pada bulan November/Desember 1997.
E. HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
1. Hidayati (2003) dalam penelitiannya tentang penagruh suku bunga terhadap perubahan suku bunga terhadap perubahan kurs selama krisis ekonomi 1997 di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah time series antara tahun 1997 – 2001 dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) perhitungan regresi OLS menyebutkan bahwa selama penelitian perubahan suku bunga tidak mempengaruhi perubahan kurs hal ini disebabkan masyarakat Indonesia lebih cenderung konsumtif terhadap suatu bara ng sehingga tidak begitu memperhitungkan tingkat suku bunga.
2. Jalu (2004) dalam penelitiannya mengenai analisis penagruh faktor yang mempengaruhi permintaan valuta asing di Indonesia Pasca krisis ekonomi 1999 – 2002. Metode yang digunakan dalam penelitian ECM (Error Correction Model), hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan valuta asing di Indonesia. Pasca krisis ekonomi banyak dipengaruhi oleh besarnya tingkat impor barang baik perubahannya maupun periode sebelumnya. Ebsarnya koefisien pengaruh secara berurutan 0,348 dan 0,571 selain itu perubahan suku bunga deposito juga mempengaruhi permintaan valuta asing dengan nilai koefisien sebesar –024. bersadarkan pengujian asumsi klasik model tidak terdapat heteroskedastisitas dan autokorelasi serta modelnya normal.
F. HIPOTESIS
Dalam suatu penelitian, hipotesis atau jawaban sementara merupakan sarana penelitian yang penting dan tidak dapat ditinggalkan. Dari hipotesis tersebut nantinya akan melewati uji kebenaran untuk mempertegas atau menolak hipotesis tersebut secara empiris. Adapun hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini adalah : Diduga terjadi hubungan kausalitas dua arah antara tingkat suku bunga SBI dan kurs rupiah per dolar. WISS KEMENG SING NULIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalaml krisis ekonomi yang terus berkelanjutan. Pada diakhir 1997, suku bunga untuk jangka waktu bulanan di Bank umum tercatat 23%, nilai ini naik sekitar 36% dibandingkan tahun sebelumnya, kelangkaan dana yang dimiliki dunia perbankan memicu terjadinya "Perang" suku bunga antar bank, untuk mengatasi hal itu perbanas, organisasi bank-bank nasional, mengajukan tiga usul kepada Bank Indonesia. Pertama: Suku bunga di biarkan bebas berdasakan mekanisme pasar, Kedua: mengacu pada jibor, Ketiga berdasarkan patokan suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI), usulan terakhir yang akhirnya disetujui Bank Indonesia. Pada tahun 1998 suku bunga SBI mencapai puncaknya 70,7% namun masa keemasan buat para deposan berakhir berangsur-angsur, sejalan dengan penurunan SBI oleh Bank Indonesia (Jullanery, 2002). Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hasil lelang pada awal Januari tahun 2004 sudah berada pada tingkat 7,48% untuk SBI yang berjangka satu bulan diperkirakan baliwa angka 7% untuk rata-rata tertimbang tingkat diskonto (suku bunga) pun bisa pecah tahun ini. Pada akhir bulan Januari 2004, lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) memunculkan suatu kejutan baru. Suku bunga SBI mengalami penurunan yang cukup tajam, sebesar 20 basis poln, yaitu dari 8,06% menjadi 7,86%. Penurunan yang tajam tersebut memang merupakan hasil interaksi antara, likuiditas pasar yang berlebih dengan arah penetapan terlihat nyata. dari persentase permintaan lelang yang diambil, yaitu hanya 77%. Ini berarti, jika persentase yang diambil Bank Indonesia lebih besar, penurunan bunganya pun juga akan lebih besar. Karena, itu pencapaian suku bunga SBI sebesar 7,86% tersebut tampaknya sudah merupakan hasil yang cukup optimal. Namun dalam jangka yang lebih panjang suku. bunga SBI tetap akan banyak dipengaruhi oleh persepsi pemilik dana, baik yang berasal dalam negeri maupun luar negeri. Bagi pemilik dana, dalam negeri tingkat suku bunga tersebut akan mereka bandingkan dengan tingkat inflasi. Jika suku bunga nominal bersih lebih rendah dan tingkat inflasi, mereka akan menenima suku bunga riil yang negatif Sementara itu, bagi pemilik dana dari luar negeri, penerimaan tersebut akan mereka ukur dalani mata uang asal dan inflasi dinegara mereka. Dari kedua sumber dana tersebut, yang tampak mendekati titik kritis adalah sumber dana dari dalam negeri (Harinowo, 2004).
Masa kritis 100 hari kabinet Indonesia bersatu telah berlalu, tak ada prestasi signifikan yang bisa dibanggakan. Namun, harapan terbentuknya Indonesia baru yang bersatu dan maju, tetap bertumpu di pundak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rupiah membenikan sambutan positif saat presiden pertama di Indonesia yang dipilih secara langsung itu dilantik. Kurs rupiah menguat sehingga di bawah Rp. 9.000,-/US$, tapi apreslasi itu bersifat sementara. Im kurs rupiah susah sepertinya berangsur dari kisaran Rp. 9.300,/US$ dalam situasi seperti itu sudah seharusnya mulai pasang kuda-kuda bila trend itu terus berlanjut, atau malah menjurus pada depresiasi, apabila Bank Central Amerika Federal Reserve (The Fed) yang pada Februari lalu yang telah menaikkan suku bunganya menjadi 2,5%, memberl isyarat akan menaikkan bunganya lagi hingga 3,5 -4%. Kenaikkan ini akan berdampak pada suku bunga di banyak negara termasuk Indonesia. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) akan melonjak untuk menahan kelemahan kurs rupiah lebih lanjut. Kebijakan BI bertujuan untuk mengerem peredaran rupiah, sehingga tidak dipermainkan speiculan. Kalau kita certnati lagi masih ada satu alternatif kebijakan lagi untuk menguatkan kurs rupiah. Yaitu meningkatkan suku bunga SBI sehingga rupiah kemball diburu dan kernudian mengalami apresiasi, namun kebijakan itu kurang popular karena bisa melumpuhkan sektor riil. Kebijakan ini baru akan efektif bila. ada koordinasi dengan kebijakan fiskal (Media Indonesia, 2005). Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis dan melakukan penelitian tentang "ANALISIS KAUSALITAS TINGKAT SUKU BUNGA SBI DENGAN KURS DI INDONESIA TAHUN 2000 - 2005)
B.perumusan Masalah
Bagaimana pola kausalitas antara suku bunga SBI dengan kurs maka diangkat permasalahan apakah suku bunga SBI mempengaruhi kurs atau kurs mempengaruhi suku bunga SBI ataukah suku bunga SBI dan kurs saling mempengaruhi.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pola kausalitas antara tingkat suku bunga SBI dengan kurs selama periode 1998.1 sampai 2003.12.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan bagi penulis tentang kausalitas antara tingkat suku bunga SBI dengan kurs.
2. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan dan perbandingan untuk penelitian sejenis.
3. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi data-data bagi penelitian selanjutnya.
E. Metode Penelitian
1. Alat analisis
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kausalitas Error Correction Model (ECM). Kausalitas Error Correction Model (ECM) digunakan untuk menguji arah hubungan timbal-balik antara dua variabel secara empirik. Dalam hal ini variabel-van'abel yang digunakan adalah tingkat suku bunga SBI dengan kurs. Kausalitas Error Correction Model (ECM) menggunakan data urut waktu (time series), antara lain tingkat suku bunga SBI
dan kurs mulai tahun 1998.1 sampai 2003.12 yang diterbitkan oleh biro Pusat Statistik dan Bank Indonesia.
Uji kausalitas Error Correction Model pada penelitian ini diformulasikan dengan persarnaan regresi sebagai berikut:
DVA = o SBIt-1 + 1 DSBIt-1 + 2 ECT1
DSBI = o VAt-1 + 1 DVAt-1 + 2 ECT2
Dimana :
D (X) = Xt – Xt-1
SBI = Suku Bunga SBI
VA = Valas
, = Koefisien masing-masing variabel
(1) ECT1 = SBIt-1 – VAt-1 (Nilai kesalahan perubahan lag variabel model 1)
(2) ECT2 = VAt-1 – SBIt-1 (Nilai kesalahan perubahan lag variabel model 2)
Diasumsikan bahwa gangguan Vt1 dan Vt2 tidak berkorelasi
2. Sumber dan Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah sekunder, yang meliputi suku. Bunga SBI dan kurs, dalani kurun waktu (time series) dari tahun 1998.1-2003.12. Adapun sumber data diperoleh dari Kantor Biro Pusat Statistik, Bank Indonesia serta buku-buku. atau literature lain yang relevan dengan penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab ini membahas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan skripsi
Bab II Landasan Teori
Bab ini membahas teori bunga, teori permintaan valuta asing, kebijakan open market (kebijakan moneter BI), hubungan kurs dengan tingkat suku bunga, penelitian terdahulu, hipotesa.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini membahas obyek penelitian, jenis dan sumber data, definisi operasional variabel dan metode analisis data.
Bab IV Analisis Data
Bab ini membahas perkembangan tingkat suku bunga SBI dan kurs hasil Uji stasioneritas, UJI kointegrasi, Uji derajat integrasi, Uji kausalitas Error Correction Model, dan UJI asumsi klasik
Bab V Penutup
Bab ini membahas kesimpulan dan saran
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PERMINTAAN VALUTA ASING
Permintaan dalam ilmu ekonomi adalah kombinasi harga dan jumlah suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu. Permintaan suatu barang sangat dipengaruhi oleh pendapatan dan harga barang tersebut, sebab apabila harga barang naik sedangkan pendapatan tidak berubah maka permintaan akan barang tersebut turun atau berkurang, demikian pula sebaliknya harga barang turun, sedangkan jika pendapatan tidak berubah maka permintaan barang akan mengalami kenaikan atau bertambah (Soekirno, 1985). Valuta asing disebut juga foreign exchange (forex) atau foreign currency adalah mata uang asing atau alat pembayaran lainnya yang digunakan dalam transaksi ekonomi internasional berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan oleh bank sentral (Khalwaty, 2000). Menurut Salvatore (1997) valuta asing merupakan arti penting uang secara eksplisit yang dimasukan ke dalam perhitungan, sehingga harga-harga komoditi dinyatakan dalam satuan mata uang domestik dan mata uang luar negeri. Mata uang dalam valuta asing dibedakan menjadi dua kelompok mata uang, yaitu:
1. Hard currency adalah mata uang yang mempunyai nilai relatif stabil, tidak sering mengalami apresiasi (kenaikkan nilai) atau depresiasi (penurunan nilai) jika dibandingkan dengan mata uang negara lain. Hard currency merupakan mata uang yang dipilih dan digunakan sebagai alat pembayaran dan satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional. Yang termasuk hard currency adalah mata uang dari negara-negara industri maju seperti Dollar Amerika Serikat (USD), Yen Jepang (JPY), Poundsterling Inggris (GPB).
2. Soft currency adalah mata uang lemah yang kurang laku atau jarang digunakan sebagai alat pembayaran atau satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional karena nilainya relatif kurang stabil serta sering terdeprisiasi jika dibandingkan dengan mata uang negara lain. Soft currency umumnya terdiri dari mata uang negara-negara yang sedang berkembang yang sifatnya sangat sensitif terhadap gejolak politik, perubahan kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah negara bersangkutan termasuk terhadap perubahan-perubahan sosial ekonomi internasional. Nilai tukar valuta asing (kurs) adalah harga uang asing dalam satuan mata uang domestik (Samoelson, 1995: 450). Perdagangan antara negara dimana masing-masing mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut nilai tukar valuta asing (Boediono, 1981).
Disamping berperan dalam perdagangan internasional, kurs juga berperan dalam perdagangan valuta asing pada suatu negara atau antar negara sebab valuta asing juga merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan. Bagi negara yang kurang kuat nilai mata uangnya maka valuta asing merupakan alternatif investasi bagi masyarakat di negara tersebut Permintaan dan penawaran valuta asing terjadi karena ada transaksi ekspor dan impor baik modal, barang maupun jasa. Semakin besar volume ekspor dan impor akan semakin besar pula jumlah valuta asing yang dibutuhkan serta akan semakin banyak pula jenis valuta asing yang dibutuhkan sesuai dengan banyaknya negara yang menjadi mitra transaksi.
Permintaan suatu negara terhadap valuta asing bersumber pada impor barang atau jasa dan terjadinya ekspor modal (capital export) dan transfer valuta asing untuk berbagai kepentingan lainnya dari dalam negeri ke luar negeri. Untuk pembayaran barang dan jasa yang impor, importir memerlukan valuta asing. Semakin banyak barang atau jasa yang diimpor akan semakin banyak pula suatu negara membutuhkan valuta asing. Akibatnya, kurs valuta asing akan meningkat jika dibandingkan dengan uang lokal. Sebaliknya, semakin banyak suatu negara melakukan ekspor modal dan transfer valuta asing untuk be rbagai kepentingan di luar negeri, ini akan meningkatkan kurs valuta asing jika dibandingkan dengan uang lokal atau domestik (Khalwaty, 2000).
Sumber-sumber permintaan valuta asing dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Para importir barang dan jasa
2. Para investor yang memerlukan valuta asing untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban luar negerinya yang timbul dari transaksi-transaksi pembelian surat-surat berharga dari penduduk negara lain atau transaksi pemberian pinjaman kepada penduduk negara lain.
3. Para debitur dalam negeri yang memerlukan valuta asing untuk melunasi kewajiban-kewajiban luar negerinya yang telah jatuh tempo atau untuk membayar bunga pinjaman luar negerinya.
4. Wisatawan-wisatawan dalam negeri yang akan melawat ke luar negeri.
5. Perusahaan-perusahaan asing yang harus membayar deviden yang dibagikan kepada para pemegang saham di luar negeri. 6. Rumah-rumah tangga keluarga yang membutuhkan valuta asing untuk membiayai studi anggota keluarganya yang belajar di luar negeri.
7. Pemerintah yang membutuhkan valuta asing untuk membiayai perwakilan-perwakilannya di luar negeri, untuk menyelesaikan hutang-hutang luar negerinya yang telah jatuh tempo.
8. Para spekulan yang misalnya saja meramalkan akan adanya tindakan kebijakan devaluasi, mempunyai tendensi untuk berlomba -lomba membeli valuta asing.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang merupakan sumber permintaan valuta asing adalah semua transaksi luar negeri otonom debit. Sedangkan semua transaksi luar negeri otonom kredit merupakan sumber penawaran valuta asing (Soediyono, 1991).
B. SUKU BUNGA DAN PERMINTAAN VALUTA ASING
Pemahaman tentang teori dan teknik pengujian tentang pengaruh inflasi dan suku bunga terhadap perubahan permintaan valuta asing sangat penting bagi para pelaku di bursa valas agar dapat menghasilkan proyeksi kurs yang akurat, tidak menyimpang jauh dari kenyataan. Teori dan studi empiris yang menjelaskan tentang bagaimana permintaan valas bereaksi terhadap perubahan tingkat inflasi dan suku bunga, terdapat tiga macam teori paritas (teori keseimbangan), yaitu Teori Paritas Suku Bunga (Interest Rate Pariety Theory = IRP Theory), Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Pariety Theory = PPP Theory), Teori Efek Fisher Internasional (International Fisher Efect Theory). Ketiga macam teori tersebut menunjukkan adanya hubungan yang berbeda tentang perubahan tingkat inflasi dan suku bunga terhadap reaksi perubahan permintaan valas. Dengan adanya hubungan yang berbeda tersebut, terlihat adanya pertentangan antara ketiga teori tersebut yang dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan. Masing-masing teori mempunyai keunggulan dan kelemahan yang apabila digunakan secara bersama-sama akan memperluas wawasan dalam mengkombinasikannya dari segi positif. Dengan melihat keunggulannya akan dapat menghasilkan suatu proyeksi yang paling cermat dengan tingkat resiko yang paling kecil (Khalwaty, 2000).
1. Interest Rate Pariety Theory
Dengan menggunakan teori paritas suku bunga dapat diketahui hubungan antara bursa valas dan pasar uang internasional Interest Rate Pariety Theory (IRPT) paling banyak digunakan dalam literatur keuangan internasional yang menyatakan bahwa perbedaan tingkat suku bunga pada pasar keuangan internasional mempunyai kecenderungan yang sama dengan forward rate premium atau forward rate discount. IRPT menekankan pada perbedaan antara kurs forward dan kurs spot yang tercermin dari perbedaan tingkat suku bunga antara dua negara. Kurs forward mata uang suatu negara yang mengandung premi ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga antar negara. Akibatnya arbitrase suku bunga yang ditutup akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan suku bunga domestik. Variabel yang digunakan pada IRPT adalah premi forward dan perbedaan suku bunga antar dua negara (Khalwaty, 2000). Untuk mengetahui hubungan antara foreign country premium (fr premium) dan forward rate discount dari suatu valas dan tingkat suku bunga di pasar uang dapat digunakan rumus :
An=Ah/SR(1+if)FR
Keterangan :
An = Amount, yaitu jumlah uang dalam negeri yang akan diterima pada akhir suatu periode investasi.
Ah = Amount, yaitu jumlah uang dalam negeri yang diinvestasikan dalam periode tertentu.
If = Interest Rate, yaitu tingkat suku bunga deposito di luar negeri.
Sr = Spot Rate.
FR = Forward Rate.
2. Purchasing Power Parity Theory
Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity Theory = PPPT) digunakan untuk menganalisa pengaruh inflasi antara dua negara terhadap kurs valas. PPPT disebut juga Teori Paritas Daya Beli, Teori Keseimbangan Daya Beli atau Teori Kesamaan Daya Beli yang di ciptakan oleh Gustav Cassel setelah Perang Dunia II. Variable-variabe yang digunakan dalam PPPT adalah perubahan kurs spot dalam persentase dan perbedaan laju inflasi antar dua -negara. Menurut PPPT, kurs spot suatu valas akan berubah sebagai reaksi terhadap inflasi antara dua negara yang mengakibatkan daya beli seseorang ketika dia belanja di negara sendiri akan sama dengan mereka belanja di luar negeri. Kurs valas cenderung mengalami perubahan kearah rasio daya beli antara dua mata uang dalam jangka panjang (Khalwaty, 2000).
3. International Fisher Effect Theory
IRPT memfokuskan pembahasannya pada penyebab terjadinya perbedaan antara kurs forward dengan kurs spot yang dapat mencerminkan perbedaan antara tingkat suku bunga antara dua negara dalam suatu periode tertentu. Sedangkan pada PPPT dan International Fisher Effect Theory (IFET) memfokuskan pembahasannya pada bagian kurs spot berubah sepanjang waktu. International Fisher Effect Theory memprediksikan bahwa kurs spot bergerak mengikuti perbedaan suku bunga antar negara. Dengan demikian terdapat hubungan antara International Fisher Effect Theory dengan PPPT, karena perbedaan tingkat suku bunga antar dua negara dipengaruhi oleh perbedaan tingkat inflasi antar negara (Khalwaty, 2000).
a. Effect Theory
Analisis IFET menggunakan variable -variabel dasar persentase perubahan kurs spot dan perubahan suku bunga antar dua negara. IFET berdasar pada teori Irving Fisher yang menyatakan bahwa tingkat bunga mominal (i) di setiap negara akan sama dengan Real Rate Return (r) di tambah dengan tingkat inflasi yang diharapkan (I). Secara formulatif, teori Irving Fisher adalah :
i = r + Inflasi
Teori Effek Fisher menjelaskan bahwa tingkat suku bunga pada dua negara yang berbeda akan terjadi akibat adanya perbedaan tingkat inflasi yang diharapkan. IFET didasarkan pada teori effek Fisher yang pada prinsipnya mirip dengan IRPT, karena menggunakan perbedaan tingkat suku bunga dalam menjelaskan sebab-sebab terjadinya perubahan kurs valas. Jadi perbedaan tingkat suku bunga yang terjadi antara beberapa negara baik menurut PPPT maupun International Fisher Effect Theory antara lain disebabkan oleh perbedaan tingkat inflasi (Khalwaty, 2000).
b. Kelemahan IFET
IFET sebenarnya memliki beberapa kalemahan yang harus dicermati saat kita memprediksikan fluktuasi kurs yang disebabkan pengaruh inflasi dan suku bunga antar-dua negara. Kelemahan IFET antara lain (Khalwaty, 2000) :
1) Hasil perhitungan kurs valas tidak selalu tepat dan validitasnya tidak selalu dapat dibuktikan karena inflasi mempengaruhi perubahan valas. Akibatnya perubahan kurs tidak selalu sama dengan perubahan tingkat inflasi.
2) Selain pengaruh inflasi yang dominan terhadap fluktuasi kurs valas, harus dicermati pula pengaruh dari kontrol otoritas moneter, posisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, produk domestik bruto, permintaan dan penawaran valas serta sentimen bursa valas yang tidak masuk dalam variabel perhitungan pada IFET.
3) Berdasarkan hasil uji empirik, perbedaan tingkat inflasi antara dua negara yang dijadikan variabel dalam memprediksi fluktuasi kurs valas pada IFET tidak selalu memberi hasil yang akurat. Penyebabnya tidak dimasukkannya variabel-valiabel lain yang turut berpengaruh seperti perbedaan tingkat suku bunga antar dua negara dan kebijakan ekonomi makro.
4. International Parity Condition
Menyadari kelemahan-kelemahan mendasar dari IRPT, PPPT dan IFET yang digunakan dalam memprediksi kurs valas sejak digunakan sistem kurs mengambang, para pakar terus berusaha mengatasi dari kelemahan teori tersebut.
Dengan menganalisis Parity Condition, investor yang menginginkan keuntungan jangka pendek harus melakukan investasi atau piutang dalam valas dengan tingkat bunga yang relatif tinggi dengan kecenderungan berapresiasi. Sebaliknya, jika ia meminjam atau berhutang valas hendaklah ia memilih tingkat bunga yang relatif rendah serta mempunyai kecemderungan akan terdepresiasi. Dengan Parity Condition Analisys akan diketahui sebab-sebab terjadinya kenaikan tingkat suku bunga. Dengan menaikkan tingkat suku bunga pemerintah dapat mengurangi JUB. Tingkat suku bunga kredit yang tinggi dapat digunakan untuk membayar biaya bunga. Tingkat inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah akan mendorong investasi dan selanjutnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional secara proposional (Khalwaty, 2000).
C. PERMINTAAN UANG KEYNESIAN
Keynes memiliki pandangan bahwa permintaan uang ditentukan oleh tiga tujuan yaitu (i) Untuk membiayai transaksi, (ii) untuk berjaga-jaga, dan (iii) untuk spekulasi. Dua tujuan yang utama ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan tujuan yang ketiga ditentukan oleh tingkat suku bunga, yang merupakan pendapatan yang diperoleh apabila uang yang tersedia untuk spekulasi dengan membungkan di bank atau membeli obligasi.
1. Permintaan Uang Untuk Transaksi
Baumol (1952) dan Tobin (1956) menjelaskan tendensi seseorang dalam menggunakan uang untuk tujuan transaksi dalam teorinya yang dikenal dengan An Inventory Theoretic Approach. Teori ini pada dasarnya menerangkan bahwa seseorang tidak akan mengunakan uang dalam bentuk tunai dan disimpan dirumah. Dia akan menyimpan uang di bank dan mengharapkan bunga dari simpanannya. Seringnya seseorang untuk pergi ke bank mengambil uangnya untuk membiayai transaksinya tergantung pada dua faktor yaitu : biaya untuk pergi ke bank dan bunga yang diperoleh dari menyimpan uang di bank.
2. Permintaan Uang Untuk Berjaga-jaga
Dalam jangka pendek dan jangka panjang seseorang perlu menyisihkan dana untuk berjaga -jaga. Dalam jangka panjang uang digunakan untuk membiayai hari tua dan biaya anak tidak akan disimpan dalam bentuk uang giral. Biasanya dana tersebut dalam bentuk investasi misalkan saham atau obligasi atau harta benda yang memiliki nilai lebih tinggi dimasa depan. Hal itu akan dilakukan untuk berjaga-jaga dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek fungsi uang untuk berjaga -jaga digunakan seseoarang dalam kondisi diluar biasanya. Misal seseorang yang naik berpergian dengan naik bis, dia akan membawa uang yang lebih tidak sekedar untuk perjalanan dan makan. Tetapi dia akan membawa uang yang lebih untuk berjaga-jaga jika ia kecopetan. Seperti halnya dalam mengunakan uang untuk transaksi, dana yang digunakan untuk berjaga-jaga ini akan selalu gigunakan secara efisien. Artinya orang akan rasional untuk mendapatan bunga dari uang yang tidak digunakan. Dengan demikian analisis An Inventory Theoretic Approach bisa diaplikasikan kepada cara pengunaan untuk kebutuhan berjaga-jaga.
3. Permintaan Uang Untuk Spekulasi
Seseorang akan selalu memikirkan memperoleh pendapatan dari kelebihan uang yang dimiliki. Hal tersebut memungkinkan seseorang untuk melakukan spekulasi. Dalam pandangan Keynes menjelaskan bahwa hubungan antara suku bunga dan permintaan uang akan bersifat negatif. Yaitu pada saat suku bunga tinggi permintaan uang semakin kecil dan pada saat suku bunga rendah permintaan uang semakin meningkat. Sifat yang demikian disebabkan oleh sifat permintaan uang untuk spekulasi yang sangat dipengaruhi oleh suku bunga. Keynes dalam analisisnya memisalkan perekonomian hanya terdiri dari dua bentuk asset keuangan yaitu uang tunai dan obligasi. Karena orang memiliki persepsi yang berbeda tentang suku bunga normal, maka individu akan menentukan suku bunga yang relatif. Dengan demikian setiap individu akan menggantikan uang yang dispekulasikan dengan obligasi. Atau sebaliknya. Namun secara umum dapat dikatakan semakin tinggi suku bunga semakin banyak investor yang membeli obligasi dengan mengunakan uang yang disisihkan untuk spekulasi. Seseorang akan membeli obligasi apabila suku bunga yang berlaku sama dengan suku bunga normal. Apabila suku bunga normal berbeda dengan suku bunga yang berlaku individu tersebut akan melihat jika lebih tinggi ia akan tetap memegang obligasi. Dengan anggapan pada saat suku bunga kembali normal harga obligasi akan naik. Dan sebaliknya jika lebih rendah ia akan segera menjual obligasinya karena ia akan mendapat keuntungan yang lebih cepat.
D. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VALUTA ASING
1. Supply Foreign Currency
Valas atau forex sebagai benda ekonomi mempunyai permintaan dan penawaran pada bursa valas atau forex market. Sumber-sumber penawaran atau supply valas tersebut terdiri atas: (a) Ekspor barang dan jasa yang menghasilkan valas atau forex.(b) Impor modal atau capital import dan transfer valas lainnya dari luar negeri ke dalam negeri. Sedangkan sumber-sumber permintaan atau demand valas tersebut terdiri
atas: (a) Ekspor modal atau capital export dan transfer valas lainnya dari dalam negeri ke luar negeri. (b) Impor barang dan jasa menggunakan valas atau forex Sesuai dengan teori mekanisme pasar, setiap perubahan permintaan dan penawaran valas yang terjadi di bursa valas tentu akan mengubah harga atau nilai valas atau forex rate -nya.
2. Posisi Balance of Payment (BOP)
Balance of Payment atau neraca pembayaran internasional adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang semua transaksi ekonomi internasioanal yang meliputi perdagangan, keuangan, dan moneter antara penduduk suatu negara dan peduduk luar negeri untuk suatu periode tertentu, biasanya satu tahun.
3. Tingkat Bunga
Pengaruh tingkat bunga dapat dijelaskan berikut ini. Dengan adanya reunifikasi Jerman, pemerintah Jerman memerlukan dana yang cukup besar untuk membangun wilayah eks Jerman Timur. Karena permintaan dana yang besar tersebut, pemerintah Jerman menaikan tingkat bunganya untuk menarik modal luar negeri ke Jerman, terutama dari USA. Banyaknya valas dalam bentuk USD akan masuk ke Jerman akan menyebabkan peningkatan permintaan DEM dan penawaran USD sehingga kurs valas atau forex rateDEM/USDberubah dari DEM2.00/USD menjadi DEM1.90/USD.
4. Ekspektasi dan Spekulasi
Pada dasarnya, ekspektasi dan spekulasi yang timbul di masyarakat akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valas yang akhirnya akan mempengaruhi kurs valas atau forex rate. Demikian pula halnya dengan isu dan rumor, misalnya sakitnya Presiden atau Menteri Keuangan dapat mempengaruhi sentimen dan ekspektasi masyarakat sehingga mempengaruhi permintaan dan penawaran valas yang akan berakibat pada fluktuasi kurs valas. Salah satu contoh
kongkret adalah naiknya kurs USD, hingga mencapai sekitar Rp6.000/USD, karena adanya isu/rumor sekitar kesehatan Presiden pada bulan November/Desember 1997.
E. HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
1. Hidayati (2003) dalam penelitiannya tentang penagruh suku bunga terhadap perubahan suku bunga terhadap perubahan kurs selama krisis ekonomi 1997 di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah time series antara tahun 1997 – 2001 dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) perhitungan regresi OLS menyebutkan bahwa selama penelitian perubahan suku bunga tidak mempengaruhi perubahan kurs hal ini disebabkan masyarakat Indonesia lebih cenderung konsumtif terhadap suatu bara ng sehingga tidak begitu memperhitungkan tingkat suku bunga.
2. Jalu (2004) dalam penelitiannya mengenai analisis penagruh faktor yang mempengaruhi permintaan valuta asing di Indonesia Pasca krisis ekonomi 1999 – 2002. Metode yang digunakan dalam penelitian ECM (Error Correction Model), hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan valuta asing di Indonesia. Pasca krisis ekonomi banyak dipengaruhi oleh besarnya tingkat impor barang baik perubahannya maupun periode sebelumnya. Ebsarnya koefisien pengaruh secara berurutan 0,348 dan 0,571 selain itu perubahan suku bunga deposito juga mempengaruhi permintaan valuta asing dengan nilai koefisien sebesar –024. bersadarkan pengujian asumsi klasik model tidak terdapat heteroskedastisitas dan autokorelasi serta modelnya normal.
F. HIPOTESIS
Dalam suatu penelitian, hipotesis atau jawaban sementara merupakan sarana penelitian yang penting dan tidak dapat ditinggalkan. Dari hipotesis tersebut nantinya akan melewati uji kebenaran untuk mempertegas atau menolak hipotesis tersebut secara empiris. Adapun hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini adalah : Diduga terjadi hubungan kausalitas dua arah antara tingkat suku bunga SBI dan kurs rupiah per dolar. WISS KEMENG SING NULIS
Selected Indicators Consumption, Indonesia 1999, 2002-2006
Selected Indicators Consumption, Indonesia 1999, 2002-2006 | |||||||||
Selected Indicators | 1999 | 2002 | 2003 | 2004 | 2005 | 2006 | |||
Average per Capita Income | |||||||||
- Percentage household expenditure for food | 62,94 | 58,47 | 56,89 | 54,59 | 51,37 | 53,01 | |||
- Percentage household expenditure for non food | 37,06 | 41,53 | 43,11 | 45,42 | 48,63 | 46,99 | |||
Income Distribution | |||||||||
- 40 % of population with lowest income | 21,66 | 20,92 | 20,57 | 20,80 | 18,81 | 19,75 | |||
- 40 % of population with moderate income | 37,77 | 36,89 | 37,10 | 37,13 | 36,4 | 38,1 | |||
- 20 % of population with highest income | 40,57 | 42,19 | 42,33 | 42,07 | 44,78 | 42,15 | |||
Index Gini | 0,31 | 0,33 | 0,32 | 0,32 | 0,36 | 0,33 | |||
Average of Daily per Capita Energi Consumption | |||||||||
without prepared food | 1 678,58 | 1 789,04 | 1 777,58 | 1 766,97 | 1 774.57 | 1 709.91 | |||
with prepared food | 1 849,36 | 1 987,13 | 1 989,89 | 1 986,06 | 2 007.65 | 1 926.74 | |||
Average of Daily per Capita Protein Consumption | |||||||||
without prepared food | 44,05 | 49,11 | 49,53 | 48,65 | 50,15 | 47,82 | |||
with prepared food | 48,67 | 54,45 | 55,37 | 54,66 | 56,59 | 53,65 | |||
Source: National Socio Economic Survey, Module Consumption, 1999, 2002, and 2005 (2003, 2004 and 2006 only including panel 10.000 households) |
INDONESIA'S BALANCE OF PAYMENTS1)
INDONESIA'S BALANCE OF PAYMENTS1) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(millions of USD) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Source: Bank Indonesia | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1986 Q1 | 1986 Q2 | 1986 Q3 | 1986 Q4 | 1987 Q1 | 1987 Q2 | 1987 Q3 | 1987 Q4 | 1988 Q1 | 1988 Q2 | 1988 Q3 | 1988 Q4 | 1989 Q1 | 1989 Q2 | 1989 Q3 | 1989 Q4 | 1990 Q1 | 1990 Q2 | 1990 Q3 | 1990 Q4 | 1991 Q1 | 1991 Q2 | 1991 Q3 | 1991 Q4 | 1992 Q1 | 1992 Q2 | 1992 Q3 | 1992 Q4 | 1993 Q1 | 1993 Q2 | 1993 Q3 | 1993 Q4 | 1994 Q1 | 1994 Q2 | 1994 Q3 | 1994 Q4 | 1995 Q1 | 1995 Q2 | 1995 Q3 | 1995 Q4 | 1996 Q1 | 1996 Q2 | 1996 Q3 | 1996 Q4 | 1997 Q1 | 1997 Q2 | 1997 Q3 | 1997 Q4 | 1998 Q1 | 1998 Q2 | 1998 Q3 | 1998 Q4 | 1999 Q1 | 1999 Q2 | 1999 Q3 | 1999 Q4 | 2000 Q1 | 2000 Q2 | 2000 Q3 | 2000 Q4 | 2001 Q1 | 2001 Q2 | 2001 Q3 | 2001 Q4 | 2002 Q1 | 2002 Q2 | 2002 Q3 | 2002 Q4 | 2003 Q1 | 2003 Q2 | 2003 Q3 | 2003 Q4 | 2004 Q1 | 2004 Q2 | 2004 Q3 | 2004 Q4 | 2005 Q1 | 2005 Q2 | 2005 Q3 | 2005 Q4 | 2006 Q1 | 2006 Q2 | 2006 Q3 | 2006 Q4 | 2007 Q1 | 2007 Q2 | 2007 Q3 | 2007 Q4 | 2008 Q1 | 2008 Q2 | 2008 Q3 | 2008 Q4 | ||||
Current Account | -721 | -1,174 | -1,371 | -833 | -673 | -839 | -584 | -173 | -111 | -497 | -256 | -688 | -418 | -277 | -338 | -247 | -737 | -882 | -1,292 | -329 | -1,238 | -1,340 | -934 | -880 | -1,198 | -1,046 | -851 | -27 | -637 | -295 | -382 | -984 | -1,279 | -583 | -159 | -939 | -1,807 | -1,980 | -1,769 | -1,204 | -2,034 | -2,588 | -2,126 | -1,053 | -2,302 | -1,102 | -1,395 | -202 | 1,000 | 670 | 1,683 | 621 | 1,513 | 850 | 1,887 | 1,534 | 1,897 | 1,354 | 2,242 | 2,498 | 2,059 | 1,339 | 2,361 | 1,140 | 1,657 | 1,907 | 2,407 | 1,850 | 1,477 | 2,097 | 2,139 | 2,391 | -1,992 | 973 | 2,038 | 544 | 208 | 438 | -1,168 | 797 | 2,950 | 1,959 | 3,775 | 2,156 | 2,604 | 2,283 | 2,113 | 3,365 | 2826 | 0 | |||||
Goods | 1,194 | 387 | 217 | 660 | 982 | 856 | 1,265 | 1,571 | 1,699 | 1,305 | 1,481 | 1,193 | 1,534 | 1,715 | 1,681 | 1,734 | 1,326 | 923 | 924 | 2,179 | 1,089 | 825 | 1,374 | 1,513 | 1,199 | 1,345 | 1,849 | 2,629 | 2,163 | 2,250 | 2,241 | 1,577 | 1,309 | 2,075 | 2,462 | 2,055 | 1,447 | 1,418 | 1,414 | 2,254 | 1,166 | 910 | 1,343 | 2,529 | 1,437 | 3,482 | 2,176 | 2,979 | 4,821 | 4,971 | 5,100 | 3,537 | 4,040 | 4,457 | 6,343 | 5,803 | 6,264 | 5,745 | 6,167 | 6,865 | 6,178 | 5,493 | 5,644 | 5,379 | 5,219 | 6,341 | 6,129 | 5,823 | 5,837 | 6,113 | 6,440 | 6,172 | 3,125 | 5,490 | 5,970 | 5,568 | 3,176 | 4,057 | 3,501 | 6,798 | 6,693 | 6,985 | 8,596 | 7,386 | 7,712 | 8,107 | 7,488 | 9,413 | 7561 | 0 | |||||
Exports | 4,446 | 3,211 | 3,269 | 3,470 | 3,747 | 4,124 | 4,468 | 4,867 | 4,884 | 4,737 | 4,938 | 4,950 | 5,199 | 5,638 | 5,903 | 6,234 | 6,055 | 5,596 | 6,654 | 8,502 | 7,391 | 6,987 | 7,524 | 7,733 | 7,470 | 7,891 | 8,776 | 9,659 | 8,977 | 8,906 | 9,380 | 9,344 | 8,874 | 9,555 | 10,760 | 11,034 | 10,812 | 11,998 | 12,082 | 12,562 | 11,112 | 12,528 | 12,816 | 13,732 | 12,962 | 14,737 | 14,364 | 14,234 | 12,827 | 13,193 | 13,466 | 10,885 | 10,811 | 12,403 | 14,270 | 13,759 | 15,113 | 15,738 | 17,829 | 16,728 | 15,399 | 15,004 | 14,231 | 12,729 | 12,724 | 15,114 | 16,310 | 15,017 | 16,408 | 15,356 | 16,180 | 16,164 | 14,754 | 17,504 | 19,056 | 19,454 | 20,200 | 21,663 | 21,996 | 23,135 | 23,262 | 25,484 | 27,605 | 27,178 | 26,626 | 29,202 | 30,009 | 32,177 | 34405 | 0 | |||||
Imports | 3,252 | 2,824 | 3,052 | 2,810 | 2,765 | 3,268 | 3,203 | 3,296 | 3,185 | 3,432 | 3,457 | 3,757 | 3,665 | 3,923 | 4,222 | 4,500 | 4,729 | 4,673 | 5,730 | 6,323 | 6,302 | 6,162 | 6,150 | 6,220 | 6,271 | 6,546 | 6,927 | 7,030 | 6,814 | 6,656 | 7,139 | 7,767 | 7,565 | 7,480 | 8,298 | 8,979 | 9,365 | 10,580 | 10,668 | 10,308 | 9,946 | 11,618 | 11,473 | 11,203 | 11,525 | 11,255 | 12,188 | 11,255 | 8,006 | 8,222 | 8,366 | 7,348 | 6,771 | 7,946 | 7,927 | 7,956 | 8,849 | 9,993 | 11,662 | 9,863 | 9,221 | 9,511 | 8,587 | 7,350 | 7,505 | 8,773 | 10,181 | 9,194 | 10,571 | 9,243 | 9,740 | 9,992 | 11,629 | 12,014 | 13,086 | 13,886 | 17,024 | 17,606 | 18,495 | 16,337 | 16,569 | 18,499 | 19,009 | 19,792 | 18,914 | 21,095 | 22,521 | 22,764 | 26844 | 0 | |||||
Services | -1,915 | -1,561 | -1,588 | -1,493 | -1,655 | -1,695 | -1,849 | -1,744 | -1,810 | -1,802 | -1,737 | -1,881 | -1,952 | -1,992 | -2,019 | -1,981 | -2,063 | -1,805 | -2,216 | -2,508 | -2,327 | -2,165 | -2,308 | -2,393 | -2,397 | -2,391 | -2,700 | -2,656 | -2,800 | -2,545 | -2,623 | -2,561 | -2,588 | -2,658 | -2,621 | -2,994 | -3,254 | -3,398 | -3,183 | -3,458 | -3,200 | -3,498 | -3,469 | -3,582 | -3,739 | -4,584 | -3,571 | -3,181 | -3,821 | -4,301 | -3,417 | -2,916 | -2,527 | -3,607 | -4,456 | -4,269 | -4,367 | -4,391 | -3,925 | -4,367 | -4,119 | -4,154 | -3,283 | -4,239 | -2,413 | -2,274 | -2,494 | -2,721 | -3,275 | -2,359 | -3,508 | -2,586 | -3,062 | -1,649 | -1,610 | -2,489 | -1,911 | -1,175 | -2,306 | -3,730 | -2,289 | -2,351 | -2,416 | -2,832 | -3,163 | -2,962 | -2,753 | -2,920 | -3135 | 0 | |||||
Transportation | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -886 | -930 | -1,132 | -1,144 | -1,169 | -767 | -1,008 | -1,024 | -778 | -695 | -802 | -920 | -1,223 | -1,190 | -1,143 | -1,052 | -1,324 | -1,513 | -1,528 | -1,712 | -1,640 | -1,792 | -1,885 | -1,978 | -2497 | 0 | |||||
Travel | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 223 | 624 | 801 | 348 | -177 | 352 | 565 | 215 | 35 | 469 | 515 | 272 | 110 | 360 | 467 | 0 | -44 | 188 | 230 | 43 | -9 | 238 | 302 | -89 | 214 | 0 | |||||
Other | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -1,750 | -1,968 | -2,163 | -1,925 | -1,929 | -1,944 | -3,065 | -1,777 | -2,319 | -1,423 | -1,323 | -1,841 | -798 | -345 | -1,630 | -2,678 | -921 | -1,026 | -1,118 | -1,163 | -1,514 | -1,408 | -1,170 | -853 | -852 | 0 | |||||
Income | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -1,476 | -2,391 | -1,549 | -1,632 | -1,249 | -2,026 | -1,191 | -1,753 | -2,361 | -3,141 | -2,583 | -2,832 | -2,168 | -3,464 | -3,569 | -3,726 | -2,660 | -3,873 | -3,727 | -3,537 | -3,155 | -4,015 | -3,839 | -4,515 | -2976 | 0 | |||||
Compensation to employee | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 22 | 9 | 10 | -13 | -32 | -28 | -48 | -112 | -23 | -16 | -44 | -54 | -75 | -72 | -84 | -82 | -83 | 0 | |||||
Investment | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -1,476 | -2,391 | -1,549 | -1,632 | -1,249 | -2,026 | -1,191 | -1,753 | -2,383 | -3,150 | -2,593 | -2,819 | -2,136 | -3,436 | -3,521 | -3,614 | -2,637 | -3,857 | -3,683 | -3,483 | -3,080 | -3,943 | -3,755 | -4,433 | -2893 | 0 | |||||
Current transfer | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 327 | 231 | 321 | 380 | 164 | 369 | 398 | 558 | 306 | 273 | 261 | 297 | 1,111 | 1,020 | 1,206 | 1,455 | 1,206 | 1,198 | 1,322 | 1,139 | 1,210 | 1,153 | 1,217 | 1,387 | 1376 | 0 | |||||
Governement | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 52 | 37 | 35 | 171 | 0 | 2 | 5 | 36 | 6 | 9 | 5 | 3 | 14 | 8 | 7 | 14 | 5 | 0 | |||||
Workers remitances | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 327 | 231 | 321 | 380 | 164 | 369 | 398 | 558 | 318 | 216 | 246 | 144 | 1,052 | 969 | 1,143 | 1,298 | 1,135 | 1,105 | 1,202 | 1,059 | 1,191 | 1,166 | 1,181 | 1,295 | 1415 | 0 | |||||
Other transfer | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -64 | 20 | -20 | -18 | 59 | 49 | 58 | 121 | 65 | 84 | 115 | 77 | 5 | -21 | 29 | 78 | -44 | 0 | |||||
Capital and Financial Account | 1,089 | 944 | 1,727 | 605 | 1,299 | 653 | 889 | 811 | 882 | 128 | 413 | 949 | 1,124 | 239 | 305 | 1,422 | 439 | 1,484 | 1,217 | 1,606 | 2,473 | 949 | 395 | 2,011 | 2,195 | 2,011 | 1,199 | 1,066 | 923 | 1,491 | 1,368 | 2,180 | 672 | 121 | 1,680 | 1,535 | 1,414 | 2,435 | 2,665 | 4,075 | 2,289 | 1,993 | 2,839 | 3,868 | 3,968 | 2,226 | 1,790 | -5,442 | -6,203 | 1,195 | -399 | 1,532 | 589 | -827 | -2,082 | -2,249 | -665 | -1,999 | -2,150 | -1,958 | -3,244 | -2,708 | -2,696 | -342 | -1,285 | 3 | 382 | -201 | -946 | -203 | -630 | 830 | 44 | -1,935 | 1,329 | 2,414 | -772 | 410 | -3,298 | 4,005 | 2,507 | 322 | -1,178 | 1,293 | 1,799 | 1,981 | -945 | 485 | -1,410 | 0 | |||||
Capital Account | 1,089 | 944 | 1,727 | 605 | 1,299 | 653 | 889 | 811 | 882 | 128 | 413 | 949 | 1,124 | 239 | 305 | 1,422 | 439 | 1,484 | 1,217 | 1,606 | 2,473 | 949 | 395 | 2,011 | 2,195 | 2,011 | 1,199 | 1,066 | 923 | 1,491 | 1,368 | 2,180 | 672 | 121 | 1,680 | 1,535 | 1,414 | 2,435 | 2,665 | 4,075 | 2,289 | 1,993 | 2,839 | 3,868 | 3,968 | 2,226 | 1,790 | -5,442 | -6,203 | 1,195 | -399 | 1,532 | 589 | -827 | -2,082 | -2,249 | -665 | -1,999 | -2,150 | -1,958 | -3,244 | -2,708 | -2,696 | -342 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 33 | 100 | 200 | 72 | 49 | 97 | 132 | 43 | 127 | 255 | 122 | 41 | 0 | |||||
Financial Account | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -1,285 | 3 | 382 | -201 | -946 | -203 | -630 | 830 | 44 | -1,935 | 1,329 | 2,414 | -772 | 377 | -3,398 | 3,805 | 2,435 | 273 | -1,275 | 1,161 | 1,756 | 1,854 | -1,200 | 363 | -1,451 | 0 | |||||
Direct Investment | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -533 | 220 | 279 | 179 | -406 | 257 | -203 | -245 | -12 | -869 | -331 | -300 | 207 | 3,132 | 878 | 1,055 | 682 | 571 | -273 | 1,231 | -225 | 1,423 | 778 | 162 | 365 | 0 | |||||
Abroad | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -360 | -1,278 | -679 | -1,091 | -651 | -615 | -879 | -920 | -654 | -517 | -1,328 | -204 | -1,262 | 390 | -1,413 | -2,505 | -1,568 | 0 | |||||
Indonesia | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -533 | 220 | 279 | 179 | -406 | 257 | -203 | -245 | 348 | 409 | 348 | 791 | 858 | 3,747 | 1,757 | 1,975 | 1,336 | 1,088 | 1,055 | 1,435 | 1,037 | 1,033 | 2,191 | 2,667 | 1,933 | 0 | |||||
Portfolio Investment | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 88 | 290 | 360 | 485 | -189 | 906 | 121 | 1,414 | 1,748 | -76 | 980 | 1,757 | 395 | -805 | 1,738 | 2,862 | 3,712 | -1,057 | 207 | 1,312 | 2,491 | 3,768 | 463 | -1,201 | 1,901 | 0 | |||||
Assets | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 36 | -243 | 56 | 504 | -339 | -63 | -462 | -216 | -392 | -446 | -332 | -762 | -497 | -1,939 | -1,259 | -764 | -818 | 0 | |||||
Liabilities | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 88 | 290 | 360 | 485 | -189 | 906 | 121 | 1,414 | 1,712 | 167 | 924 | 1,253 | 734 | -742 | 2,200 | 3,078 | 4,104 | -611 | 539 | 2,074 | 2,988 | 5,707 | 1,722 | -437 | 2,719 | 0 | |||||
Other Investment | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -840 | -507 | -257 | -865 | -351 | -1,366 | -548 | -339 | -1,692 | -990 | 680 | 957 | -1,374 | -1,950 | -6,014 | -112 | -1,959 | 759 | -1,209 | -1,382 | -510 | -3,337 | -2,441 | 1,402 | -3,717 | 0 | |||||
Assets | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -765 | 38 | 560 | 1,152 | -631 | -1,816 | -4,648 | -1,551 | -1,349 | 1,704 | -235 | -1,707 | -162 | -2,286 | -2,382 | 234 | -3,455 | 0 | |||||
Liabilities | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | -840 | -507 | -257 | -865 | -351 | -1,366 | -548 | -339 | -927 | -1,028 | 120 | -195 | -743 | -134 | -1,366 | 1,439 | -610 | -945 | -974 | 325 | -348 | -1,051 | -59 | 1,168 | -262 | 0 | |||||
Overall Balance | -5 | -39 | -1 | -499 | -199 | 304 | 864 | 241 | 176 | -263 | 87 | 79 | -180 | -277 | -259 | 1,087 | -303 | -491 | 747 | 2,146 | 900 | 193 | -461 | 575 | 674 | 810 | 230 | 29 | 370 | 142 | 61 | 168 | 356 | -974 | 708 | 716 | 166 | 551 | 362 | 437 | 1,301 | 508 | -68 | 2,710 | 748 | 2,243 | -1,295 | -6,140 | -4,909 | 2,075 | 1,949 | 3,229 | 1,980 | 766 | 372 | 174 | 2,808 | 371 | 564 | 1,300 | -721 | -35 | 319 | -941 | 233 | 1,223 | 1,356 | 2,217 | 938 | 934 | 351 | 1,432 | 1,353 | -1,915 | 11 | 860 | 352 | -1,480 | -3,169 | 4,742 | 5,786 | 3,379 | 2,637 | 2,708 | 4,379 | 3,637 | 1,179 | 3,520 | 1,032 | 0 | |||||
Error and Omissions | -373 | 191 | -357 | -271 | -825 | 490 | 559 | -397 | -595 | 106 | -70 | -182 | -886 | -239 | -226 | -88 | -5 | -1,093 | 822 | 869 | -335 | 583 | 78 | -556 | -323 | -155 | -118 | -1,010 | 84 | -1,054 | -925 | -1,028 | 963 | -512 | -813 | 120 | 559 | 96 | -534 | -2,434 | 1,047 | 1,103 | -781 | -105 | -918 | 1,119 | -1,690 | -496 | 294 | 210 | 665 | 953 | -122 | 743 | 568 | 890 | 1,576 | 1,015 | 471 | 760 | 464 | 1,334 | 655 | -1,739 | -139 | -688 | -1,434 | 570 | 407 | -961 | -1,161 | -1,788 | 3,301 | -952 | -3,356 | -2,098 | 916 | -2,328 | 1,294 | -61 | 330 | 1,097 | 43 | -741 | -25 | -629 | 10 | -329 | -382 | 0 | |||||
Official Reserves | 5 | 39 | 1 | 499 | 199 | -304 | -864 | -241 | -176 | 263 | 313 | -79 | 180 | 277 | 259 | -1,087 | 303 | 491 | -747 | -2,146 | -900 | -193 | 461 | -575 | -674 | -810 | -230 | -29 | -370 | -142 | -61 | -168 | -356 | 974 | -708 | -716 | -166 | -551 | -362 | -437 | -1,301 | -508 | 68 | -2,710 | -748 | -2,243 | 1,295 | 6,140 | 4,909 | -2,076 | -1,949 | -3,229 | -1,980 | -766 | -372 | -174 | -2,808 | -371 | -564 | -1,300 | 721 | 35 | -319 | 941 | |||||||||||||||||||||||||||||||
Monetary Movements | -233 | -1,223 | -1,356 | -2,217 | -938 | -933 | -350 | -1,432 | -1,353 | 1,915 | -11 | -860 | -352 | 1,480 | 3,169 | -4,742 | -5,786 | -3,379 | -2,637 | -2,708 | -4,379 | -3,637 | -1,179 | -3,520 | -1,032 | 0 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Reserve Assets | 28,004 | 29,279 | 30,041 | 32,039 | 32,578 | 34,057 | 34,068 | 36,296 | 37,419 | 34,851 | 34,802 | 36,320 | 36,030 | 33,865 | 30,318 | 34,724 | 40,082 | 40,107 | 42,353 | 42,586 | 47,221 | 50,924 | 52,875 | 56,920 | 58,987 | 0 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Source: Bank Indonesia | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1) Reporting method has changed for three times since 1986. The latest change was in 2006. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
* Projected | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
** Estimated | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Langganan:
Postingan (Atom)